Oleh-Oleh dari Jogja, Bali Berpeluang Kembangkan Desa Wisata Cokelat
(Baliekbis.com), Bali terkenal dengan komoditas kopinya. Namun sesungguhnya Bali masih memiliki produk perkebunan unggulan yakni kakao. Sayangnya produk ini belum dikembangkan seperti halnya kopi yang sudah menembus pasar manca negara dan mampu memberi pendapatan cukup tinggi.
“Sejatinya kalau kakao bisa dikembangkan secara lebih profesional baik produksi dan teknologinya maka bisa memberikan nilai tambah yang lebih besar lagi,” ujar Kepala Divisi Advisory Pengembangan Ekonomi BI Bali Azka Subhan Aminurridho ketika meninjau budidaya dan proses pengolahan cokelat di Desa Nglanggeran, Gunungkidul dan Bantul, Yogyakarta, Sabtu (10/2). Dua produsen cokelat ini sudah terbukti mampu mendapatkan keuntungan yang signifikan dari tanaman ini.
BI Bali dalam kunjungan lapangan tersebut mengajak puluhan wartawan serangkaian Lokakarya Kehumasan dan Kebangsentralan yang berlangsung sejak Jumat (9/2) hingga Minggu (11/2). Menurut Azka, pengembangan tanaman kakao bukan sebatas menghasilkan biji dan produk olahan berupa cokelt namun bisa dikemas menjadi semacam objek wisata. “Kita akan coba mengajak kelompok petani untuk mengembangkan tanaman kakao ini diperluas menjadi semacam desa wisata cokelat. Di tempat ini selain ada budidaya, pengolahan (industri) juga objek wisata,” tandas Azka yang sangat antusias dengan pengembangan sub sektor perkebunan ini. Karenanya saat kunjungan lapangan, wartawan selain diajak ke dua tempat yang cukup berhasil dalam pengembangan kakao juga melihat langsung budidaya, pengolahan biji hingga menjadi produk konsumsi. Di Desa Nglanggeran, Gunungkidul, Yogyakarta sebagaimana diungkapkan Rini, staf pengelola Griya Cokelat, dengan pengolahan yang dilakukan, kakao yang sebelumnya dijual dalam bentuk bijian, kini berhasil diolah menjadi produk siap konsumsi. “Dan nilai tambahnya cukup tinggi,” jelasnya. Dirinci, untuk menghasilkan 1 kg serbuk cokelat diperlukan lima kg biji kering yang total harganya sekitar 100 ribuan rupiah. Namun setelah jadi serbuk harganya Rp 250 ribu. “Dan kami sudah pula memasarkannya dalam bentuk saset yang kalau ditotal bisa jadi Rp 400 ribuan. Kalau sudah diseduh jadi minuman harganya tambah lagi,” jelasnya. Dengan keberhasilan pengembangan tersebut, diakui ratusan anggota kelompok tani di sana kini sudah menikmati keuntungannya. Dan pihaknya juga sudah melakukan pemasaran hingga ke luar desa termasuk toko di perkotaan.
Manisnya harga cokelat bukan hanya dirasakan Rini dan kawan-kawan di desanya. Tak jauh dari desa itu, Chocolate Monggo di kawasan Bantul juga mengelola kakao lebih modern lagi. Di bawah tangan sang pemilik Thierry Detournay, warga Belgia yang sangat fasih berbahasa Indonesia ini, ia mengembangkan kakao mulai dari budidaya hingga menghasilkan aneka produk cokelat kualitas ekspor. Di Chocolate Monggo, dilengkapi pula museum yang cukup representatif sehinga pengunjung bisa mengenal lebih detail tentang cokelat hingga sejarahnya. Pengunjung juga bisa melihat perkebunan kakao, proses pembuatan cokelat dan mengunjungi showroom yang menyediakan aneka produk cokelat serta menikmati aneka minuman cokelat original di kedai yang ada di sana.
Usai melihat kedua usaha cokelat tersebut, Azka mengaku pengembangan kakao di dua tempat itu sebenarnya bisa diterapkan di Bali. Selain bahan baku cokelat sudah dihasilkan di beberapa tempat seperti Jembrana dan Tabanan juga pemasarannya sangat prosfektif baik lokal, maupun untuk wisatawan. Memang diakui selama ini kakao yang dihasilkan petani sudah ada yang diekspor seperti ke Jepang dan Perancis. Namun kalau bisa diolah lebih luas lagi tentu akan memberi nilai tambah yang lebih tinggi. “Bahkan bisa dikemas jadi desa wisata agro-desa wisata cokelat,” tambahnya seraya menambahkan BI Bali akan mencoba mengkaji peluang itu sebagaimana pengembangan kopi yang sudah berjalan selama ini. (bas)