Optimisme Menghadapi Dampak Covid-19 Model Tradisi Penglingsir Bali
(Baliekbis.com), Masyarakat dan budaya Bali hulunya adalah agraris, sehingga budaya tumbuh dan berkembang selaras, sejalan dan seirama dengan denyut nadi para petani. Awal “roh” masyarakat dan budaya Bali adalah ajaran leluhur dan kemudian setelah pengakuan negara terhadap agama menjadi Agama Hindu sebagai “roh-taksu” dan itu sangat terimplementasi nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, apalagi petani.
Fakta menunjukkan secara ekonomi kekuatan utama masyarakat Bali sejak leluhur hingga tahun 80-an dominan digerakkan oleh pertanian dalam arti luas; sawah, ladang, kebun, ternak, ikan dll. Itu terdokumentasi pada PDRB Bali sebelum tahun 90-an kontribusi terbesar adalah sektor primer. Secara perlahan dominasi sektor primer digeser oleh sektor tersier; pariwisata, perdagangan, jasa dan lain-lain secara gradual, sehingga mulai tahun 2000-an sektor tersier mulai mendominasi PDRB Bali.
Fakta menunjukkan sektor tersier, terutama industri pariwisata sangat rentan dengan berbagai isu. Seperti kolera, sampah, keamanan dan kenyamanan dan sejenisnya. Itu bisa saja di”main”kan oleh pesaing atau itu adalah fakta. Di samping itu fenomena alam seperti erupsi gunung, phenomena buatan manusia seperti bom dan phenomena nonalam seperti COVID-19 sangat berimplikasi “buruk” secara signifikan, masif, sistimatis dan terstruktur terhadap ekonomi Bali, terutama industri pariwisata bahkan tidak menutup kehidupan sosial, kultural, politik bahkan aktifitas agama ikut terimbas.
Oleh karena sektor tersier “terlanjur” menjadi motor gerak utama ekonomi Bali sejak tahun 2000-an, berbagai phenomena alam, nonalam dan bikinan manusia telah berkali-kali mengguncang INDUSTRI pariwisata Bali dan itu sudah fakta yang sulit ditolak oleh siapapun.
Wabah Covid-19 kita tidak tahu kapan berakhir, walau semua orang berdoa dan berharap cepat selesai dan kata “jenuh” telah menjadi ungkapan atau pikiran hampir semua sahabat yang kita jumpa.
Solusinya, kita tidak boleh “menyeRAH, pasRAH, leLAH, paYAH, kaLAH dan akhirnya “laYAH” maaf itu bahasa Bali kasar. Ampure….
Fakta dan diceritakan oleh teman dekat saya. Ia kebetulan tinggal di salah satu desa di Denpasar dan punya rumah hanya seluas 1 are dan tanah belum di bangun lagi 1 are dengan jarak dari rumah nya sekitar 300 meter. Ingat akan petuah leluhurnya sebagai petani maka dimanfaatkan lahan 1 are itu untuk buat (1) kolam ikan sebanyak 3 biji, (2) tanam kangkung dan sayuran lain (3) tanam rempah2, (4) dan tanam kates walau belum berbuah.
Fakta lain ia bisa olahraga membersihkan kebun itu dan ada kanalisasi kejenuhan tinggal di rumah, sehingga jenuh itu hilang sejalan dengan teori alternatif. Fakta lagi bukan “isapan jempol” dari sahabat saya itu dengan keluarga kecilnya, seluruh kebutuhan dapur dapat sebagian besar terpenuhi seperti ikan, sayur dan rempah-rempah saat in. Berarti berapa income ia dapatkan dan hitung sendiri, nggih. Bahkan menurut cerita ia dapat berbagi dengan tetangga terutama sayur dan cabai.
Jika melihat kondisi seperti itu dan kembali kontemplasi mulat sarira kita semeton Bali, apalagi di Desa, jika kita mau kembali ke jati diri sesuai dengan jati diri leluhur kita, kembali bertani selama masih COVID-19 ini niscaya secara ekonomi semeton Bali relatif teratasi dan kita tdk lg terasa terlalu jenuh. Tentu saya tidak mengharapkan semuanya seperti itu, mohon jangan negatif dulu ya!
Bagaimana dengan semeton tinggal di kota, bisakah lahan-lahan kosong di berbagai tempat itu dapat dipinjam oleh Pemkab-Pemkot seluruh Bali dan bagi semeton yang mau bertani dan berkebun seperti sahabat saya bisa dibantu oleh pemerintah berupa bibit, pinjaman lahan dan sejenisnya.
Akhirnya semeton sareng sami kita harus banyak belajar untuk memperkuat mental di jaman COVID-19 ini seperti mental petani:
1. Gagal panen tetap tidak banyak mengeluh dan terus bertani.
2. Harga produksi turun saat panen tetap bersahaja dan tdk panik.
3. Biaya produksi seperti saprodi sering naik saat musim tanam tetap mereka bertahan dan tahan uji.
4. Mau panen ladang dan sawahnya diterjang banjir, hanya mengadu ke alam sana.
5. Rela berlumpur dan berjemur berhari-hari, badai, hujan, terik matahari, dahaga jadi bagian dari keseharian mereka, tapi tetap setia. *Prof. Dr. Nengah Dasi Astawa