Pameran Lukisan di The Apurva Kempinski Bali, Kun Adnyana: Menjadi Seniman Bukan Pilihan Terakhir
Karya seniman yang paling otentik adalah karya yang benar-benar terjadi di studio. Karya itu muncul dari hasrat seniman, jadi bukan tawaran atau giringan kurator. Karya yang dilahirkan tidak selalu populer dari imaginasi publik. Ada sesuatu yang belum dipikirkan publik tapi sudah disalurkan dari senimannya, keunikannya itu.
(Baliekbis.com), Potensi seniman saat ini luar biasa dan jumlahnya selalu meningkat, hampir 30 persen. Di dunia pendidikan tinggi yang akan melahirkan seniman-seniman muda jumlahnya selalu meningkat,
sebelumnya 600 sekarang 800 lebih.
“Kalau dulu pilihan sebagai seniman adalah anomali, pilihan terakhir. Kini dari muda sudah punya orientasi cita-cita sebagai seniman/designer,” ujar seniman Kun Adnyana yang juga Rektor ISI Denpasar dalam diskusi serangkaian pembukaan pameran lukisan di The Apurva Kempinski Bali, Kamis (12/10).
Diskusi yang dipandu oleh moderator sekaligus penggagas dan art director dari Indonesia: The Land of Art, yang juga merupakan Founder dari Kita Art Friends Abdes Prestaka menghadirkan narasumber Kurator Rizki A. Zaelani, Nicolaus Kiswanto (pebisnis seni), Lugas Syllabus (seniman), Made Arya Palguna (seniman), Sutjipto Adi (seniman) dan Made Kun Adnyana (seniman). Juga hadir Director of Marketing and Communications The Apurva Kempinski Bali Melody Siagian dan I Nyoman Erawan.
Dalam sambutannya, Melody mengatakan pameran ini rentetan acara dari powerful Indonesia festival yang dimulai bulan Agustus lalu dan merupakan bagian dari program tahunan. Dikatakan Land of Art adalah di pilar kolaborasi lintas disiplin untuk menghadirkan seni lebih dekat lagi, tidak hanya tamu Apurva tapi turis internasional dan penggiat seni di Indonesia dan dunia. Mereka bisa melihat bagaimana seniman berkreasi, macam-macam seni dihasilkan di sini, supaya lebih bangga lagi dengan Indonesia. Pameran Land of Art ini sudah berlangsung 3 bulan, ini bulan ke-3. “Siapapun yang mau melihat bisa datang ke Apurva Kempinski, tidak ada biaya tiket, jadi ini gratis,” ujarnya.
Menurut Kun, karya seni lahir dan diapresiasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk bebas. “Jadi karya seni yang bisa menawarkan mimpi dan cita-cita yang bebas untuk memberi kepuasan bahwa cita-cita kita terwakili di sana. Begitu kita sungguh-sungguh hari ini, itulah masa depan. Jadi masa depan adalah apa yang kita sediakan kini,” jelasnya.
Terkait seni digital terutama design terapan, menggunakan teknologi bagi mereka untuk berkarya hingga mempublikasi dan memasarkan karyanya, ini sebuah keharusan untuk generasi muda menguasai teknologi. “Ini keharusan bukan pilihan,” tegasnya.
Kun menilai penting bagaimana kesenian itu bisa berkesinambungan. Ia juga melihat masih ada kesan kalau musik barat dipandang lebih berkelas dibandingkan gamelan. Jalan seni adalah jalan membangun rasa. “Karya seni itu tak pernah usang untuk dipahami, tidak pernah berhenti di zamannya saja,” jelas Kun yang selain sebagai seniman, ia adalah Associate Professor.
Penghargaan yang dianugerahkan kepada Kun antara lain tahun 2018, Satyalancana Karya Satya 10 Tahun dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Tahun 2014 dan 2016, Finalist of UOB Painting of The Year Competition Awards, Jakarta. Di tahun 2013, ia dianugerahi Visiting Art Scholar Awards dari Faculty of Fine Art (Gwen Frostic School of Fine Art Collage), Western Michigan University, US.
Terkait persaingan (seniman muda) menurut Sutjipto Adi ada proses untuk masa depan. Kebanyakan seniman sekarang belum bermain dengan konsep. “Dunia seni rupa kita harus punya bentuk, karakter sendiri (Nusantara),” ujar Sutjipto yang dulu realis sekarang ke abstrak ini dimana karya-karyanya banyak dipamerkan di Indonesia dan Asia, termasuk Singapore, Cina, dan Jepang.
Sementara itu Rizki A. Zaelani -kurator yang alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini menegaskan seniman tak bisa dicampuri maupun didikte galeri atau pun kurator.
Gallerist Nicolaus Kuswanto pemilik galeri yang dikenal aktif di dunia bisnis seni di Indonesia mengatakan seniman muda sekarang mencoba bersanding untuk masa depan. Persaingan galeri saat ini luar biasa. Di Jakarta 10 galeri bersatu.
Nico mengakui galeri akan mengikuti trend. “Tapi kita belum sanggup menciptakan trend. Padahal ini penting. Karena itu galeri berusaha gandeng seniman,” ujar Nico terkait pertanyaan apa galeri akan mengikuti trend atau menciptakan trend.
Lugas Syllabus alumnus ISI Jogja merupakan seniman yang menggabungkan semua elemen budaya tradisi maupun kekinian yang menjadi bagian dinamika hidup seniman Indonesia. Ia meraih award antara lain di tahun 2009 Silver Award, Artmajeur Art Award, 2nd Winner Heritage, Portraits of Indonesia, Museum Nasional, Indonesia Tahun 2006: 20 Best Comics Strip, Goethe Institute, Indonesia.
Seniman Made Arya Palguna yang mengenyam pendidikan di ISI Jogja ini kerap diundang di berbagai workshops, fellowships, and residency programs, seperti Muong’s Cultural Museum, Vietnam (2012). Tahun 2011 dan 2012, ia sebagai finalist Philip Morris Art Awards.
Sedangkan pelukis I Nyoman Erawan mengatakan kalau seniman dihidupkan dari seni maka tidak harus takut untuk berkorban. Jadi ini akan saling mengisi. (bas)