Menjadi Bangsa Yang Pancasilais
SAYA ingin memulai tulisan ini dengan satu keyakinan penuh; Pancasila jaya! Ia digodok dengan amat luar biasa sebelum dilahirkan pada 1 Juni 1945. Ia hadir dengan kesahajaan ungkapan yang terumus dengan sederhana dalam lima sila namun merangkum keseluruhan eksistensi sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Bayangkan; beribu pulau, beribu suku, beribu bahasa daerah, beribu karakter dan beribu kepentingan, semua hanya cukup terdeskripsi dalam ungkapan-ungkapan yang gamblang, jelas, jernih, tidak bias.
KETIKA Pancasila dikumandangkan kelahirannya, dengan segera bangsa ini menerima dengan suka cita. Mengapa? Karena tak ada yang bisa diragukan lagi keberadaannya sebagai cerminan watak, falsafah dan kepribadian bangsa. Meski dalam sejarah kelahiran Pancasila ini hanyalah bermula dari sebuah pidato yang disampaikan Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, namun karakter sebuah bangsa besar telah lama tertanam dalam jiwa Soekarno.
Ketika Soekarno menyampaikan pidatonya tentang konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka, ‘jiwanya’ dengan spontan merumuskan dasar-dasar sila yang menggambarkan watak dan kepribadian bangsa tanpa hambatan yang berarti. Pidato tentang konsep Pancasila yang semula tiada berjudul itu kemudian oleh Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Widyodiningrat disebut sebagai “Lahirnya Pancasila”. Mengingat betapa berartinya rumusan Pancasila yang dikemukakan sebagai dasar negara, maka setiap 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Maka tak bisa lagi diganggu-gugat bahwa dasar negara dan pandangan hidup bangsa ini adalah Pancasila. Ini sudah menjadi kesepakatan pendiri negara. Dan semua realitas bangsa ini telah terangkum dalam Pancasila. Ketika Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, itu berarti Pancasila harus menjadi pedoman dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; ketika Pancasila dijadikan pandangan hidup, itu berarti Pancasila dipandang memiliki nilai-nilai kehidupan yang paling baik.
Begitu tepatnya gambaran Pancasila sebagai cerminan karakter bangsa, maka acapkali kita diingatkan kembali untuk berpijak dan berpedoman pada Pancasila; bahwa di tengah perkembangan yang semakin kompetitif di dalam berbagai lini kehidupan membuat kita mulai menjauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Sifat-sifat yang egoistis, hidup yang makin pragmatis, kompetisi karier yang semakin sengit, kemajuan ilmu dan teknologi yang melahirkan pola hidup individualitas, adalah sejumlah alasan untuk diingatkan kembali tentang ‘menjadi bangsa yang Pancasilais’.
Mengapa Pancasila begitu penting dan berarti bagi bangsa ini? Karena semakin ditelisik dari aspek apapun, Pancasila sanggup memberi gambaran dan penjelasan yang sangat gamblang, logis dan membumi. Pancasila adalah pandangan hidup yang multidimensi. Ia bukan sekadar menawarkan gambaran perilaku politik kekuasaan, tidak sesempit itu. Pancasila ‘menerangi’ segala aspek kehidupan bangsa ini, bahkan juga menjawab keberadaan agama dan melindungi agama-agama yang diakui di Nusantara ini. Pancasila ialah realitas holistik manusia Indonesia.
Diuji dan Teruji
Ada ungkapan Bali yang berbunyi; gumi linggah ajak liu, ada kene ada keto; yang artinya, begitu banyak orang di dunia ini dengan perangai yang bermacam-macam. Ketika Pancasila telah disepakati oleh pendiri bangsa dan negara ini, namun dalam perjalanannya tidak semua ikhlas menerima Pancasila sebagai dasar negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa. Berbagai kepentingan, terutama yang sangat menonjol ialah di wilayah politik kekuasaan, mencoba menumbangkan kekokohan Pancasila sebagai dasar negara.
Kita mempunyai catatan masa lalu mengenai hal ini. Beberapa pemberontakan yang pernah terjadi seperti Peristiwa Madiun, Peristiwa G-30-S/PKI, misalnya, meski tidak secara verbal pemberontakan mereka memaklumatkan penumbangan Pancasila, namun dasar gerakan mereka jelas-jelas ingin mengubah jalannya bentuk dan cita-cita bangsa. Peristiwa Madiun terjadi dengan dasar keinginan revolusi menuju “Republik Soviet Indonesia” di mana setelahnya mereka mengumumkan pembentukan pemerintahan baru.
Dua peristiwa pemberontakan itu pada dasarnya bertujuan menggoyahkan Pancasila dengan menyerang wilayah kekuasaan. Pemberontakan memang harus dimulai dari politik menumbangkan kekuasaan. Dari sinilah kemudian segalanya bisa diubah, termasuk segala aspek yang paling fundamental, tak terkecuali juga Pancasila. Di masa-masa multipartai, baik di masa lalu maupun pasca-Orba, kecenderungan mengedepankan kepentingan partai sangat mencolok dan dan tidak segan-segan secara verbal menyuarakan kepentingan mereka.
Namun sejarah juga menjadi bukti bahwa pergerakan para pemberontak yang hendak mengubah haluan negara dan bangsa ini gagal total. Peristiwa Madiun, G-30-S/PKI dan sejumlah pergerakan yang lain dengan mudah dirontokkan. Kehendak menumbangkan kekuasaan—dengan begitu juga menumbangkan Pancasila—menjadi sejarah pahit bagi bangsa ini dan dengan begitu pula makin yakin mereka bahwa Pancasila yang menjadi idiologi bangsa yang telah teruji eksistensinya sebagai dasar negara dan pegangan hidup bangsa.
Keberhasilan sejarah menjaga Pancasila bukanlah suatu titik henti yang membuat bangsa ini dengan suka cita meyakini Pancasila adalah jiwa dan kepribadian mereka. Kehidupan ialah pergolakan, kadang juga begitu dinamik memperlihatkan perubahan-perubahan. Terutama yang menonjol ialah dalam satu dekade terakhir ini. Perongrongan terhadap ideologi Pancasila memperlihatkan niatnya melalui diskursus-diskursus intelektual, benturan dialog sakral-profan, isu SARA, penghembusan kebangkitan partai terlarang dan sebagainya.
Perongrongan secara laten terhadap Pancasila atau bahkan dengan ‘menumpang’ intelektualisme, konflik keyakinan religiositas, hoaks yang begitu meyakinkan, misalnya, jauh lebih ‘mengancam’ mengingat begitu sublimatiknya keberadaan mereka. Dan yang paling kontemporer dihadapi Pancasila saat ini ialah gerakan radikalisme yang menyasar bukan saja pemerintah, melainkan juga ideologi negara dan masyarakat luas. Konflik-konlik sosial, demo-demo ketidakpuasan terhadap kebijakan dan kemiskinan sering kali menjadi peluang besar untuk memulai melancarkan niat politis mereka.
Radikalisme
Salah satu tabiat radikalisme ialah watak militansi mereka, terutama dalam mengejar tujuan utama mereka. Sering kali pula mereka bermain sangat sublim, memanfaatkan segala peluang dan kelengahan untuk kemudian mulai lagi ‘menggempur’ yang mereka anggap lawan. Yang terjadi saat ini sedikit banyaknya adalah refleksi ‘gonjang-ganjing’ berbagai kepentingan yang tengah berseteru sengit untuk mendapatkan kemenangan. Nampak bahwa upaya perongrongan terhadap Pancasila saat ini masih kelihatan melalui ‘pintu di ranah politik kekuasaan’.
Inilah sebuah realitas tantangan berikutnya bagi Pancasila, yakni bahwa Pancasila kembali ‘diuji’ eksistensinya. Dengan semakin canggihnya teknologi informasi membuat kita semakin nyata mengikuti ‘perongrongan’ itu melalui berbagai bentuk media sosial dan media cetak. Pergumulan wacana dalam perseteruan bahkan cenderung mulai menyimpang dari tata adab wacana yang baik. Kita tetap berkeyakinan bahwa Pancasila ‘adalah harga mati’, namun andai kita lengah …
Fenomena radikalisme bukan lagi berada pada tataran diskursus ruang-ruang seminar, kuliah atau percakapan talk show televisi, namun sudah mengarah pada momok ancaman bagi negara dan masyarakat. Pemerintah periode kedua Joko Widodo (Jokowi) menegaskan akan meningkatkan keseriusan menangani radikalisme di Indonesia. Jokowi tidak hanya menyoal penindakan, tapi juga berusaha mengubah persepsi masyarakat terhadap istilah radikalisme (indonesia.go.id, 15 November 2019).
Dalam rangka menuju deradikalisasi, menurut Mahfud MD (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan), penanganan radikalisme akan dilakukan lintas kementerian. Hal yang paling ditekankan adalah kelompok radikal bukan mengacu pada golongan tertentu. Ia pun meminta agar pemikiran bahwa orang yang radikal merupakan dari kelompok agama tertentu diubah. “Radikalisme itu satu paham yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan cara melawan aturan, kemudian merusak cara berpikir generasi baru,” kata Mahfud MD (ibid).
Pandangan yang sama terhadap radikalisme juga diberikan oleh Surya Paloh. Menurutnya, Pancasila, mahakarya putra Indonesia tersebut harus terus dijaga. “Tidak mungkin ideologi Pancasila ini bisa terjaga dengan baik kalau ada pembiaran terhadap paham-paham radikalisme yang mengancam ideologi kebangsaan yang kita miliki,” ujar Surya Paloh (jitunews.com, “Rongrongan terhadap Pancasila tak Bisa dibiarkan, 22 November 2016).
Menjaga Pancasila
Meski kita tak meragukan saktinya Pancasila; telah teruji dalam sejarah tak tertaklukkan oleh berbagai pemberontakan dan pembangkangan, namun bukan berarti bangsa ini leluasa melenggang ke masa depan. Bangsa ini selalu berpeluang terancam oleh berbagai kepentingan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Sebagaimana telah dikupas tadi, ancaman-ancaman kontemporer saat ini jauh lebih berbahaya dari sekadar pemberontakan face to face karena perlawanan mereka begitu samar dan sublim, begitu beragam dan ‘tak berbau’, kadang juga memakai kendaraan keyakinan.
Maka, di balik keyakinan kita pada Pancasila, ideologi negara ini harus dijaga dengan membangun kesadaran tentang saling menjaga dan melindungi; membangun kepercayaan dengan tindakan, bukan dengan retorika kosong. Terutama yang paling penting ialah tegaknya keadilan dan hukum yang berdiri di atas semua golongan. Ketegasan dan tindakan konkret yang konsisten adalah hal lain yang menguatkan saling percaya antara pemangku kebijakan dan khalayak luas. Negara harus hadir ketika rakyat berada dalam suatu situasi yang sangat krusial.
Itulah cara-cara yang paling pokok yang nyata dalam menjaga Pancasila sebelum akhirnya bertumbuh sikap matang dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah yang menjadi jaminan paling ampuh dalam menjaga Pancasila. Sikap matang sebagai bangsa inilah suatu pribadi yang dicita-citakan oleh kita semua untuk membawa Pancasila selalu berjaya dalam berbagai ‘gangguan’ kepentingan; selalu berjaya juga ke depan dalam persaingan dunia global.
PANCASILA selalu berpeluang untuk terancam. Namun saya tetap percaya pada sejarah yang berulang; Pancasila selalu bisa keluar dari keadaan-keadaan genting! Pancasila berjaya dan terjaga selamanya ketika terbangunnya kesadaran bangsa ini meneruskan nilai-nilai yang terumus dalam sila-sila Pancasila. *Oleh Putu Suasta, Alumnus Fisipol UGM dan Universitas Cornell