Pandangan Naomi Srikandi Tentang Perempuan dan Seni
(Baliekbis.com), Naomi Srikandi adalah seorang aktris teater, sutradara, dan penulis naskah asal Yogyakarta. Wanita kelahiran 1975 ini merupakan anak perempuan dari penyair Willibrordus Surendra (W.S) Rendra. Memiliki bapak seorang penyair membuat Naomi sudah terbiasa dengan lingkungan seni sejak kecil. Setiap hari ia melihat orang latihan teater, menulis naskah, hingga belajar silat. Menari, menyanyi, main musik di sekolah, dan baca puisi menjadi hobi dan keseharian Naomi.
Dirinya mulai menjalani seni secara lebih serius ketika dia bergabung di Teater Garasi pada 1994, saat ia kuliah jurusan Komunikasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di Teater Garasi, Naomi bersama teman-temannya memanfaatkan teater sebagai wadah untuk menyuarakan suara mahasiswa akan gejolak politik dan fenomena yang tengah terjadi di masyarakat. Naomi menyadari bahwa apa yang Ia lakukan sama seperti apa yang dilakukan bapaknya melalui Bengkel Teaternya.
Selain menjadi pemain teater, Naomi juga banyak melahirkan karya-karya fiksi. Salah satu karya fiksinya bahkan pernah terpilih dalam 20 Cerpen Terbaik Indonesia dan diterbitkan oleh Pena Kencana Literary Awards dan Gramedia Pustaka Utama. Naomi juga pernah menerima hibah EWA Yayasan Kelola untuk karya Medea Media dan Goyang Penasaran.
Tak puas hanya berkarya di dalam negeri saja, Naomi juga banyak terlibat dalam proyek internasional. Sebut saja Prism yang diproduksi Kageboushi Theatre Company (ASEAN-Jepang, 2003), The Seven Spirit Banquet diproduksi PARC dan Polynational Arts Carnival (Asia Pasifik, 2004 dan 2006), Di Cong Bak (Teater Garasi-Yogyakarta, Komunitas Tikar Pandan-Aceh, Theater Embassy-Amsterdam, 2005). Dirinya pun pernah mengikuti residensi seniman yang diselenggarakan oleh Nottle Theatre Company- Kooyong Performing Arts Centre di Wonju, Korea Selatan serta DasArts Master School of Theatre di Amsterdam, Belanda.
Perempuan berkarya
Setelah lama bergabung bersama Teater Garasi, Naomi ingin mengaplikasikan apa yang sudah ia pelajari di sana ke tempat baru. Kali ini, ia ingin membentuk sebuah kelompok baru yang dapat menjadi fasilitas para perempuan untuk menyalurkan kemampuan seninya. Sebagai seorang seniman perempuan, Naomi ingin mendobrak stereotip dan konstruksi sosial atas identitas perempuan yang selama ini membatasi mereka untuk berkarya.
Pada 2017, Naomi bersama ketiga orang teman perempuannya mendirikan sebuah Kolektif bernama Perempuan Lintas Batas (Peretas). Peretas rutin mengadakan berbagai program yang bertujuan menjadi ruang produktif dan reproduktif perempuan pekerja seni. Kegiatan yang kerapa mereka selenggarakan antara lain penelitian, penerbitan buku, dan diskusi publik.
Melalui berbagai kegiatan tersebut, Peretas ingin berkontribusi dalam perluasan pengertian praktik seni budaya, bahwa seni budaya tak melulu terkait dengan produktivitas industri kreatif atau karier individu. Seni budaya juga bisa menjadi transformasi sosial dan distribusi pengetahuan bersama.
Selain lewat Peretas, Naomi juga memberi dukungan untuk pelaku seni perempuan dengan bergabung menjadi juri anggota Cipta Media Ekspresi –hibah untuk perempuan pelaku kebudayaan. Melalui perannya sebagai juri, ia ingin memberikan kesempatan kepada para perempuan untuk menyalurkan ide mereka yang selama ini masih terpendam. Menurutnya, perempuan yang pantas mendapat hibah adalah perempuan yang sudah lama memendam idenya tetapi tidak bisa melahirkan idenya hanya karena dia perempuan.
“Hibah ini mungkin akan jauh lebih berguna untuk perempuan yang ingin keluar dari wilayah nyamannya. Mencoba hal baru, melintas batas, membuat peta perjalanannya sendiri. Ketimbang mereka yang sekadar ingin maju, dengan pengertian hanya ingin meniti karier di jalur yang sudah dihafalkan oleh banyak orang,” ujar Naomi, seperti dikutip dari channel Youtube Cipta Media, beberapa waktu lalu.
Dirinya juga ingin mengapresiasi para perempuan yang mau mengambil risiko. Perempuan yang percaya bahwa mereka bisa menjadi agen perubahan, salah satunya melalui karya yang dapat membuat orang lain berpikir.
“(Perempuan yang) mau mengambil risiko, yang tidak menerima keadaan sebagai keadaan, yang punya kepercayaan bahwa keadaan itu bisa diubah. Bahkan, yang saya suka adalah orang percaya bahwa dia bisa memimpin sebuah perubahan,” ucap Naomi.
Menurutnya, untuk bisa membuat perubahan dan melahirkan sebuah karya yang membuat orang lain berpikir, seorang perempuan sebaiknya tak sekadar membuat karya tetapi juga mengetahui alasan-alasan mereka membuat karya tersebut.
“Juga yang menarik adalah ketika seseorang melihat bahwa alasan-alasan dia membuat sesuatu itu berangkat dari lingkungan yang lebih luas dari dirinya sendiri, dari rumahnya sendiri, dari RT-nya, dari kampungnya,” kata Naomi.
Perempuan, imbuhnya, sebaiknya juga dapat melihat bahwa proses berkesenian adalah sebuah proses untuk bertanya, menggugat, memberontak, dan mengajukan tawaran untuk mengubah dunia. (anya)