Peluncuran Buku “Jangan” Warnai Peringatan HUT ke-72 Dr. Mangku Pastika

*Jangan menilai diri sendiri terlalu tinggi, *Jangan merasa diri orang penting, *Jangan berharap terlalu banyak, *Jangan berlagak mengubah orang lain, apalagi ingin mengubah dunia.
*Jangan terus mengeluh,
*Jangan terus menggerutu,
*Jangan terus mengasihani diri sendiri.
‘Speak up’ atau ‘Shut up!’ ‘Siup’ atau ‘Siep’

(Baliekbis.com), SUASANA meriah mewarnai peringatan HUT ke-72 Dr. Made Mangku Pastika,M.M., Kamis (22/6) malam di kediamannya komplek perumahan Teras Ayung, Gatsu Denpasar.

Didampingi istri Ayu Pastika dan keluarga, HUT juga hadir puluhan tokoh dan kolega Mangku Pastika. Peringatan HUT selain diisi dengan pemotongan kue juga dirangkai dengan peluncuran buku “Jangan”. Sesuai dengan judulnya “Jangan”, buku setebal 121 hal tersebut selain memuat autobiografi mantan Gubernur Bali dua periode (2008-2018) yang kini Anggota DPD RI, juga mengulas begitu luas tentang “Jangan”.

Peringatan HUT juga diisi pesan-pesan dari sejumlah tokoh yang hadir. Di antaranya Prof. LK Suryani, Dr. Dewa Palguna, Made Jendra (mantan Sekda Bali). Juga pesan disampaikan oleh alumni SMA Bali Mandara.

Sebagaimana diketahui, saat menjadi Gubernur Bali, Mangku Pastika banyak melakukan terobosan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Di antaranya mendirikan SMA Bali Mandara yang secara khusus hanya menerima calon siswa dari keluarga miskin. Saat ini ribuan alumninya rata-rata sudah bekerja bahkan puluhan di antaranya meniti karir di luar negeri. Mangku Pastika juga membangun Progam Simantri (Pertanian), JKBM (Kesehatan), Jamkrida (UMKM) dan sejumlah fasilitas lainnya.

Dalam sambutan singkatnya, Mangku Pastika mengatakan begitu pentingnya waktu. “Berjalannya waktu adalah anugerah bagi kita. Sang waktulah yang mengatur kita. Jadi kesempatan (hidup) yang diberikan adalah anugerah yang bukan saja harus disyukuri namun juga wajib diisi dengan kegiatan yang berguna,” ungkap Jendral Polisi Bintang Tiga (Purn.) kelahiran Buleleng ini.

Terkait bukunya, dijelaskan Buku Jangan ini saya tulis secara spontan dan ekspresif. Bagian dari ekspresi saya saat-saat tertentu. Bisa saja dia bagian dari perenungan atau bahkan dapat disebut ocehan dalam hati. Tulisan-tulisan spontan, ekspresif atau perenungan dari endapan-endapan pengalaman dalam menjalankan tugas keseharian selama ini.

Jadi buku Jangan ini, saya tulis tidak dimaksudkan lebih jauh atau mempunyai tendensi tertentu. Apa itu dalam bentuk melarang, tidak membolehkan atau tidak usah, dan lain sebagainya. Meski saya tahu pilihan kata jangan seringkali dimaknai seperti itu. Sebagaimana saya katakan tulisan-tulisan dalam buku Jangan adalah ekspresi spontan atau bagian dari perenungan atau bahkan ocehan dalam hati yang selama ini mengendap dalan pikiran saya. Sebagai ekspresi spontan, saya tulis pada setiap saat. Apakah saat menunggu di ruang tunggu, di mobil saat hendak ngantor, di kantor atau pulang kantor, di pesawat dan di mana saja saat saya dapat untuk menulis. Saya tulis semua itu pada buku atau secarik kertas apa saja, seperti buku, amplop, tiket boardingpass, koran, potongan-potongan kertas yang tidak jelas, dan sebagainya.

Apa yang terlintas di benak saya, saya tulis apa adanya. Dia benar-benar ekspresi spontan. Meski demikian, pembeda dengan tulisan-tulisan dalam buku Percikan Permenungan dari Jaya Sabha (I, 2015, II, 2017) tersebut adalah terletak pada aksentuasi kata ‘Jangan’.

Sebagaimana disampaikan di atas, ketika memulai menulis buku Jangan sesungguhnya terbersit, apakah hal tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk larangan, tidak membolehkan atau tidak usah, dan sebagainya dapat dimaknai sebagai bentuk pembatasan? Dalam benak saya hal semacam itu sama sekali tidak terbersit sedikit pun. Meski sesungguhnya hal tersebut dimaksudkan untuk diri sendiri dan bukan untuk orang lain. Namun, tidak tertutup kemungkinan dimaknai atau dikesankan diikhtiarkan untuk orang lain. Hal ini tentu tidak lain sebagai penyemangat atau motivasi bagi siapa saja yang berkenan membacanya, seperti dalam kalimat-kalimat sebagai berikut:

Jangan terus mengeluh, Jangan terus menggerutu, Jangan terus mengasihani diri sendiri.
Speak up
Atau:
Shut up!
Siup atau siep.

Dalam menjalankan tugas dan kewajiban selama ini, saya mencermati tidak sedikit orang menghadapinya dengan berbagai keluhan, gerutuan, dan bahkan cenderung terkesan permisif. Oleh karena tantangan harus dihadapi, masalah harus dicarikan solusi, sekaligus harus bangun dan bangkit untuk tampil, maka teriakan-teriakan speak up atau shut up harus disuarakan dengan kencang dan keras.

Saya menyadari memulai menulis buku Jangan, dengan jumlah sebanyak 119 tulisan tidaklah mudah. Artinya, ketika saya hendak menulis diawali kata ‘Jangan’ secara spontan muncul kesadaran diri yang berdimensi tahu diri, tahu posisi. Dengan kesadaran itu dibarengi tidak bertendensi lain selain ekspresi spontan dan curahan emosional malah membuat saya merasa plung tanpa beban.

Buku Jangan ini tidak lain bagian dari episode buku sebelumnya, yakni: “Percikan Perenungan di Jayasabha”. Meski seperti itu, dalam Jangan ini ditulis tanpa sekat, mengalir dari satu halaman ke halaman berikutnya. Anggap saja bait-bait puisi lepas. Oleh karena itu, saya menyadari berbagai kekurangan atau ketidaksempurnaan yang ada dalam Jangan ini, namun tetap saja bagian dari kesadaran bahwa “jangan menilai diri sendiri terlalu tinggi, jangan merasa diri orang penting, jangan berharap terlalu banyak, jangan berlagak mengubah orang lain, apalagi ingin mengubah dunia…” sebagaimana dikutip di atas tidak lain merupakan kesadaran personal sekaligus keterbatasan dan kekurangan saya. Atas segala keterbatasan dan kekurangan dimaksud, mohon dimaafkan.

Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. I Dewa Gede Palgiuna, S.H., M.Hum dalam kesibukannya begitu rupa melalui I Ketut Ngastawa, saya meminta agar beliau berkenan membuat “catatan kecil” atas buku Jangan ini. Ternyata yang ditulis berupa Endorsement buku Jangan ini. Meski pendek, endorcement tersebut penuh makna.

Apa pun yang terurai dalan tulisan Jangan ini, saya hanya berharap dapat menjadi bahan renungan atau otokritik bagi pembaca manakala senggang mengingat apa yang terurai baik langsung atau tidak merupakan bagian dari pernik-pernik hidup dan kehidupan yang pernah dialami. Dengan demikian buku Jangan ini berharap ada manfaatnya. (bas)