Peneliti UGM: Koordinasi Pemerintah Tangani Covid-19 Lemah
(Baliekbis.com), Sejak awal merebak wabah Covid-19 di tanah air, penanganan pandemi virus COVID-19 di Indonesia ditandai dengan lemahnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut seperti yang terjadi di awal Maret 2020 antara pemerintah pusat versus pemerintah provinsi (DKI Jakarta dan Jawa Barat), serta pemerintah pusat versus pemerintah kabupaten/kota di pulau Jawa.
Dalam perkembangan lanjutannya, kelemahan koordinasi antar tingkatan pemerintah daerah ini mengalami perluasan dan pendalaman menjadi konflik koordinasi antar pemerintah daerah, baik antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota maupun antara sesama pemerintah kabupaten/kota.
“Fenomena perluasan dan pendalaman konflik koordinasi tersebut terjadi pada kasus penanganan pandemi COVID-19 di Jawa Timur,” kata Peneliti Research Centre for Politics and Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM, Fikri Disyacitta, Senin (15/6).
Dia menjelaskan data per 12 Juni 2020 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan daerah dengan tingkat warga terkonfirmasi positif virus COVID-19 tertinggi kedua di Indonesia dengan jumlah 7.421 kasus. Selain itu, wilayah dengan angka kematian tertinggi di Indonesia, yakni 553 kasus. Khususnya Kota Surabaya, total positif terinfeksi virus COVID 19 di kota ini mencapai 3.744 kasus, lebih dari separuh (50,5%) total korban di Jawa Timur.
Sementara di tengah meningkatnya jumlah korban, pengadaan mobil khusus untuk melakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Kota Surabaya menyedot perhatian publik.
“Kasus ini adalah wujud dari perluasan dan pendalaman konflik koordinasi antara tingkatan pemerintah daerah,”tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Walikota Kota Surabaya memesan mobil PCR pada BNPB. Namun mobil PCR tersebut oleh gubernur Jatim diteruskan ke kabupaten lain yang juga memiliki tingkat penularan tinggi. Hal itu memicu kemarahan Walikota Surabaya hingga beritanya menjadi viral.
Fikri menyebutkan melalui Laboratorium Big Data Analytics dia dan tim melakukan analisis isi dan wacana pemberitaan pengadaan “mobil PCR” di Jawa Timur antara tanggal 27 Mei–5 Juni 2020. Adapunpemberitaan media online yang dianalisis adalah 600 artikel, dengan pencarian berita yang mengandung kata-kata: “mobil pcr”, “mobil’, “coronavirus”, dan “Surabaya”.
Hasilnya menunjukkan persoalan koordinasi antar unit daerah yakni pemerintah provinsi dengan pemerintah kota semakin meluas dna mendalam, terutama terkait pengadaan mobil PCR.
Hal ini ditunjukkan oleh setidaknya dua hal.
Pertama, peta jaringan konsep yang memperlihatkan bahwa pemberitaan dengan kata kunci “Tri Rismaharini” dan “Khofifah Indar Parawansa” adalah yang paling banyak muncul. Kedua, kata ini dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Tidak tersambungnya keduanya menunjukkan bahwa mereka berdiri sendiri-sendiri, tanpa irisan, dan ini adalah proxy dari tidak adanya koordinasi.
Disamping itu bisa dilihat dari munculnya konsep kata “marah” dan “cepat” dalam rekaman pembicaraan media online. Ekspresi emosi ini merupakan proxy kedua dari pelemahan dan pendalaman konflik koordinasi antara unit pemerintah daerah. Kata ini adalah ekspresi emosi dan kefrustrasian Walikota Kota Surabaya terhadap pengalihan mobil PCR ke Pemprov Jawa Timur. Hal ini mempertegas tidak sinkronnya kooordinasi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kota.
Fikri menyebutkan kasus konflik “mobil PCR” menunjukkan pergeseran pola konlfik antara unit pemerintah, yakni dari pemerintah pusat versus pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), menjadi pemerintah provinsi versus pemerintah kabupaten/kota; dan antara pemerintah kabupaten/kota sendiri yang berada dalam satu tingkatan. Hal ini ditunjukkan dari hasil pantauan atas media online dari segi frekuensi penyebutan tokoh, Tri Rismaharini muncul tertinggi (283 kali) dan Khofifah Indar Parawansa (186 kali).
“Jika memperhatikan tren konsep yang terbentuk, kata “mobil” yang banyak muncul sebanyak 572 kali lebih banyak dikaitkan dengan Tri Rismaharini,” katanya.
Temuan ini menunjukkan bahwa wacana mobil PCR lebih banyak digaungkan oleh Tri Rismaharini yang kemudian direspon oleh Khofifah Indar Parawansa. Meski didominasi oleh konflik aktor di daerah
(gubernur vs walikota), muncul juga nama terkait dengan tokoh pemerintah pusat, meski tidak terlalu signifikan. Beberapa nama yang munc yakni Doni Monardo Ketua BNPB (47 kali), Joko Widodo (34 kali), hingga Fadli Zon (26 kali) yang menyindir Tri Rismaharini sebagai “pemimpin yang mudah sekali marah”.
Berikutnya, dari aspek kelembagaan, temuan monitoring media online, BNPB adalah instansi terdepan dalam pengadaan mobil PCR ini yang muncul. Kata “BNPB” muncul sebanyak 165 kali, disusul dengan “TNI dan Polri” 116 kali, dan PDI P 81 kali. BNPB muncul paling atas karena pengadaan mobil PCR berasal dari instansi tersebut. Tapi lembaga tertinggi yang muncul dalam percakapan ini ketiganya tidak saling terhubung.
Sementara dari aspek lokasi, kata “Surabaya” muncul 523 kali, dan “Jawa Timur” muncul 489 kali. Keduanya menjadi konsep kata yang paling banyak dibahas. Hal ini dapat dianalisis sebagai peningkatan intensitas konflik koordinasi yang terjadi antara Pemerintah Kota Surabaya dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Tiga daerah lain juga muncul dalam percakapan yakni Tulungagung (212 kali), Lamongan (190 kali), dan Sidoarjo (99 kali), namun tidak menunjukkan signifikansi dalam konflik yang terjadi. Ketiga daerah ini muncul karena menjadi lokasi pemindahan pengadaan mobil PCR.
“Lemahnya koordinasi secara tersamar mencerminkan rivalitas antara aktor politik lokal. Kompetisi antaraktor politik lokal ini secara jangka panjang akan mengganggu supremasi sipil dan akan membuka peluang aparat keamanan seperti militer untuk terlibat dalam persoalan ini,”paparnya.(ika)