PERBEDAAN ANTARA BERBICARA DAN MEMBICARAKAN
KITA kalau berbicara, apalagi di depan umum, sering sebelum bicara merasakan sesuatu seperti gugup, gagap dan gemetar. Itu kondisi sangat manusiawi. Sebab terbayang tatkala seseorang sedang bicara dihadapan publik semua orang yang hadir memusatkan perhatian dan pandangan kepada si pembicara.
Hal itu salah satu dari sekian banyak alasan menyebabkan muncul perasaan seperti itu. Sehabis bicara belum tentu dapat pujian dan tidak jarang setelah bicara di”bully” oleh pendengar. Saya pernah merasakan atau paling tidak saya menduga ada yang juga suatu ketika mem “bully” setelah saya selesai berbicara.
Tapi menurut saya itu tidak masalah bagi saya sendiri, asalkan konten bicara saya tidak menyinggung dan mendiskreditkan apalagi sampai ingin “mencederai” pribadi, orang, kelompok, atau siapa saja. Terhadap ada yang kurang senang atau tidak setuju dengan konten bicara saya itu hal biasa dan saya anggap seperti pepatah atau “sesonggan” Bali yakni “kelebingkah beten biu, gumi linggah ajak liu”. Maksudnya kita harus menyadari bumi dihuni banyak orang, jangan berharap semua senang dengan kita, pasti ada yang senang dan ada yang tidak senang dengan bicara kita.
Jadi itu anggap biasa dan terpenting isi bicara kita adalah ingin menyampaikan kebaikan dengan landasan berpikir positif. Paling tidak ada beberapa hal yang harus dan wajib kita perhatikan bila menjadi pembicara di ruang publik, yakni;
1. FILOSOFIS. Berbicara itu tidaklah mudah, tapi membicarakan biasanya lebih mudah. Apalagi membicarakan “kesalahan, kekurangan dan kelemahan” orang lain. Oleh sebab itu kalau kita berbicara di publik perhatikan dengan baik (1) aspek ontologis-apa yang kita bicarakan atau kita bicara maunya tentang apa; (2) aspek epistimologis artinya kita bicara wajib memperhatikan asas objektif, metodis, sistimatis, kronoligis, universalitas dan kontinuitas-kesinambungan. Dan (3) aspek aksiologis atau nilai serta manfaat apa yang akan didapat oleh pendengar kita tatkala kita berbicara.
2. SOSIOLOGIS. Berbicara dihadapan orang banyak kita tidak boleh melupakan aspek sosial kemasyarakatan atau wajib tahu siapa yang kita ajak bicara, supaya jangan sampai kita terkesan seperti “ngajari bebek berenang” atau “lempar garam ke laut” tak ada gunanya.
3. YURIDIS. Berbicara tidak sebatas konten, isi dan himpunan kata-kata indah terangkai menjadi kalimat tak bermakna. Apalagi sampai pembicaraan itu melanggar atau tidak sesuai dengan etika, norma dan aturan. Tentu tidak ada manfaatnya dan bahkan berakibat hukum terhadap kita sebagai pembicara. Persis seperti “tong kosong nyaring bunyinya” sudah tidak ada isinya, tidak dapat imbalan dan terkena risiko berupa sanksi hukum.
4. EMPIRIS. Pengalaman adalah guru terbaik atau pengalaman adalah penuh manfaat. Itu sering kita dengar dalam pergaulan sehari-hari. Maksudnya kalau kita bicara wajib hati-hati. Pengalaman apa saja yang cocok dan tidak cocok kita ungkapkan dalam bicara kita. Dan itu harus benar-benar dipertimbangkan sebab tidak semua pengalaman bisa kita jadikan materi dalam berbicara di depan publik. Sebab “lain padang lain pula belalangnya” sehingga kita wajib selektif mengungkapkan pengalaman sebagai isi dalam berbicara di depan umum atau orang banyak.
5. HISTORIS. Sejarah jangan diulangi sebaik apapun. Kalau punya pengalaman baik, harus kita lakukan untuk menjadi lebih dan lebih baik lagi. Misalnya kita punya pengalaman mendapat keberuntungan hadiah berupa mobil, kalau bisa tahap berikutnya harus mobil plus-lebih. Apalagi pengalaman buruk tentu jangan terulang kembali. Pengalaman hanya jangan dilupakan. Bisa untuk referensi hidup kita untuk berjalan ke depan. Dalam konteks berbicara di depan umum juga jangan diulangi itu-itu saja. Orang nanti pada bosan mendengarkan, tapi wajib ditambah atau di “upgrade” substantialnya dengan menambah materi lama dengan poin-poin keterbaharuan sehingga materi bicara tidak terkesan “kering” dan “jadul” atau out of date.
6. POLITIS. Kita hidup dilingkungan tidak tunggal, seringkali dihadapkan pada berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik. Artinya tidak selalu diartikan politik itu pragmatis, akan terapi pembicaraan juga harus berorientasi pada etika politik. Seperti pepatah Jawa “menang tanpa ngasor ake” Artinya berbicara di depan publik jangan “menggurui” dan jangan dianggap orang belum tahu, atau tidak tahu. Penghormatan terhadap hak dan kewajiban pendengar sangat penting diperhatikan sehingga semuanya mendapatkan haknya yang sama dan memenuhi kewajiban yang wajib mereka lakukan. Berlaku “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah”
7. GEOGRAFIS. Dimana langit dipijak disana langit dijunjung. Hal ini penting dipahami sebelum mulai bicara di depan publik. Oleh karena itu sebelum bicara mengenali kondisi geografis menjadi perlu dan penting sehingga isi dan isu yang diangkat sebagai bahan bicara sejalan dengan atmosfir dan bahasa alam dimana lokasi kita berbicara.
8. TAKTIS. Bicara wajib memperhatikan durasi dan waktu serta irama atau intonasi suara. Semua itu adalah termasuk dalam kecakapan teknis dan wajib dimiliki oleh setiap pembicara yang terbiasa bicara di ruang publik.
9. HUMORIS. Jujur kita akui sebagai pembicara di ruang publik membutuhkan banyak energi sehingga kolaborasi, simbiosis mutualistis antara pembicara dengan pendengar harus terangkai menjadi satu kesatuan. Bila kita bicara tetapi semua peserta bicara dan diskusi sendiri-sendiri, bikin kelompok sendiri, maka sebagai pembicara diwajibkan punya jiwa humoris, agar konsentrasi yang pecah dari peserta bisa bersatu kembali sehingga pembicaraan kita sepenuhnya di dengar dan maknanya pun seutuhnya dipahami dan ditangkap oleh audien secara utuh.
Itulah modal yang dibutukan kalau menjadi pembicara. Oleh karena itu jangan cepat-cepat membicarakan orang lain begini dan begitu setelah berbicara di hadapan anda. Sebab BERBICARA dan MEMBICARAKAN sangat jauh berbeda. Berbicara itu butuh materi, konsentrasi dan tenaga, sedangkan membicarakan hanya butuh penilaian menurut dirimu sendiri dan belum tentu orang lain setuju dengan anda.
Mungkin karena rasa sungkan saja teman-teman anda seakan-akan setuju dengan anda. Jadi tiba saatnya kalau bisa kurangi dan berhentilah membicarakan orang lain. Apalagi keburukan atau kejelekan orang lain, sebab tanpa kita sadari kalau terlalu sering kita menjastifikasi orang lain jelek. Ternyata kita lebih jelek dari orang yang kita bicarakan tersebut.
*Oleh: Prof. Nengah Dasi Astawa