Perilaku Pornografi Wisatawan: Bagaimana Hukumnya?
(Baliekbis.com), Ada berita CNN Indonesia berjudul Polisi Buru WNA yang Telanjang di Pohon Pura Babakan Bali (Rabu, 4 Mei 2022). Berita ini menjadi viral di platform Instagram setelah diangkat oleh akun @niluhdjelantik pada hari yang sama. Reaksi beragam mencuat setelah adanya postingan Warga Negara Asing (WNA) berbahasa Rusia pada akun Instagram @alina_yogi yang menampilkan foto seorang wanita tanpa busana, berpose pada pohon sakral di Pura Babakan, Desa Tua, Kecamatan Marga, Tabanan.
Berita yang mirip juga sempat muncul Minggu tanggal 24 April 2022, ketika WNA tanpa busana menari di kawasan Gunung Batur. Berita tentang perilaku pornografi wisatawan tersebut tentu menodai pariwisata Bali dan Indonesia. Bagaimana hukum mengaturnya?
Di Indonesia penyelanggaraan kepariwisataan diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU Kepariwisataan). Ketentuan mengenai kewajiban wisatawan, diatur dalam Pasal 25 UU Kepariwisataan. Ditentukan bahwa setiap wisatawan berkewajiban untuk menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat; memelihara dan melestarikan lingkungan; turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; serta turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum. Khusus untuk di Bali, kewajiban serupa juga diatur dalam Pasal 27 huruf a dan d Peraturan Daerah Provinsi Bali No.2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali (Perda Kepariwisataan Budaya Bali).
Terkait ancaman sanksi apabila terjadi pelanggaran atas kewajiban tersebut, UU Kepariwisataan dan Perda Kepariwisataan Budaya Bali memberikan ancaman sanksi yang berbeda dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). UU Kepariwisataan hanya memberikan sanksi administratif berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan mengenai hal yang harus dipenuhi. Apabila pelakunya tidak mengindahkan teguran, dapat diusir dari lokasi perbuatan yang dilakukan. Sementara sanksi terhadap perbuatan serupa dalam Perda Kepariwisataan Budaya Bali, tidak jelas.
Perlu ditegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh kedua WNA tersebut di atas, bukan saja dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan melainkan telah melakukan tindakan yang masuk dalam katagori pornografi. Dimaksud pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi sesksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi/UU Prnografi).
Secara spesifik Pasal 8 UU Pornografi menegaskan kembali bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi, dan dapat diperkuat dengan larangan untuk mempertontonkan diri dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan atau bermuatan pornografi lainnya pada ketentuan Pasal 10.
Sekadar diketahui, berikut dikemukakan beberapa contoh ancaman sanksi terhadap pelanggaran sebagaimana diatur dalam UU Pornografi. Pelanggaran atas ketentuan Pasal 4 ayat (1) dapat dikenakan sanksi pidana penjara dengan rentang waktu 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun penjara dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) hingga paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Sanksi bagi pelanggaran Pasal 8 adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun penjara dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 10 UU Pornografi apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi pidana penjara pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun penjara dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Menjadi pertanyaan, apakah sanksi pidana dalam UU Pornografi dapat dijatuhkan kepada WNA yang memiliki pandangan dan pemahaman berbeda terhadap pornografi? Jawabannya, ya. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menetapkan bahwa ketentuan pidanda dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
Ketentuan tersebut merupakan perwujudan dari prinsip teritorialitas yang dikenal dalam hukum pidana, yang mengandung arti bahwa baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun WNA yang melakukan tindak pidana di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, perlu juga memperhatikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian). Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. WNA yang masuk ke Indonesia tentu akan mendapat pengawasan keimigrasian. Pejabat imigrasi berwenang melakukan tindakan administratif keimigrasian terhadap WNA yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak mentaati peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (1) UU Keimigrasian.
Tindakan administratif keimigrasian yang dapat dikenakan kepada WNA yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 75 ayat (1) UU Keimigrasian, dideportasi (dikeluarkan secara paksa) dari wilayah Indonesia. (Pasal 75 ayat (2) UU Keimigrasian). Berdasarkan pemberitaan media massa dapat diketahui, perilaku nyeleneh kedua wisatawan sebagaimana disebutkan pada awal tulisan ini akhirnya dikenakan tindakan administratif berupa deportasi. *Penulis: I Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH.,M.Kn.,LLM, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana