Pesta Puisi Montase di JKP
Penyair nasional Bali, Wayan Jengki Sunarta, kembali melahirkan anak rohaninya, berupa buku kumpulan puisi bertajuk “Montase” (Pustaka Ekspresi, Tabanan, Bali, Agustus 2016). Montase adalah buku kumpulan puisi Jengki yang kelima setelah Pada Lingkar Putingmu (buku pop, 2005), Impian Usai (Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (buku pop, 2007), Pekarangan Tubuhku (Bejana Bandung, 2010).Buku tersebut menghimpun 55 puisi yang dipilihnya dari sekitar seratusan puisi masa penciptaan tahun 2010 hingga 2016 dan belum pernah dibukukan secara utuh. Montase diluncurkan pada Kamis, 29 September 2016, di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), Jl. CokTresna No. 109, Renon, Denpasar. Peluncuran sekaligus juga untuk merayakan ulang tahun Fakultas Sastra Unud, sebab Jengki adalah alumni dari kampus tersebut. Acara peluncuran dimeriahkan dengan pembacaan puisi, musikalisasi puisi, seni pertunjukan, dan pemutaran film dokumentar.
Jengki mengatakan menciptakan puisi adalah proses yang tidak pernah selesai. Sama halnya dengan proses belajar memaknai kehidupan dengan beragam warnanya. Jengki telah menapaki jalan puisi sejak awal 1990-an.“Puisi selalu member banyak kemungkinan dan kejutan tak ternilai, yang membuat saya lebih memahami keberadaan sebagai manusia.Puisi adalah anugerah semesta yang memberkati pengembaraan batin saya menjelajahi rimba kehidupan,” ujar pria gondrong ini.
Secara umum, montase dapat diartikan sebagai komposisi yang dihasilkan dari percampuran unsure dar iberbagai sumber. Montase lebih sering dilakukan pada seni rupa, namun bisa juga pada sastra, musik, tari, atau seni lainnya. Jengki mengatakan “Montase”dipilih sebagai judul mengacu pada keberagaman tema, ekspresi batin, dan gaya ucap, yang disatukan menjadi sebuah buku yang utuh. Misalnya, meski banyak puisi dalam buku ini mengangkat tempat/daerah sebagai subjek matter, namun seturut ekspresi batin hal itu berkembang ke berbagai persoalan lain, seperti kritik sosial, kisah cinta, kecemasan, renungan spiritual, dan sebagainya.
“Buku ini adalah montase dari berbagai perjalanan dan persoalan yang mengusik batin saya, termasuk kasus Teluk Benoa dan berbagai persoalan lain di Bali dan Indonesia pada umumnya,” ujarnya. Selain renungan spiritual, kemanusiaan, dan kisah cinta, sejumlah puisi di dalam Montase banyak mengritisi persoalan sosial-budaya. Misalnya, puisi “TelukBenoa”.Jengki begitu gambling menyampaikan pernyataan sikapnya untuk menolak reklamasi. Kritiknya yang tajam juga mencuat pada puisi “PralayaMatra”, “Ubud,Gerimis Menyapa”, “Malam Mabuk di Ubud”, “Ubud, Hanya Keluhdan Riuh”, “Serenade Malam”, dan banyak lagi. Berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia juga dikritisinya lewat puisi-puisinya yang bernas dan tajam. Misalnya, bisa dilihat pada puisi “Negeri Jerebu”, “Derita Kian Melata”, “Derita Jelata”, “Cikini”, seri puisi “Negara Dunia Ketiga”, dan banyak lagi. Dengan kemampuan mengolah kata, diksi, metafora, puisi-puisi yang sarat muatan kritik social itu dikemasnya dalam nuansa puisi cinta.
“Mungkin banyak orang menganggap puisi-puisi yang sarat kritik social itu adalah puisi cinta, padahal itu hanya kemasannya saja. Dan, itu memang salah satu cara saya untuk mendekatkan puisi pada penggemarnya,”ujar Jengki. Jengki mengatakan puisi memang perlu disubsidi dan harus terus diperjuangkan dengan berbagai cara. “Saya berharap semakin banyak generasi muda yang mencintai puisi. Sebab puisi adalah bagian dari kehidupan yang mampu mempertajam pikiran dan perasaan,” ujarnya.
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Dia adalah lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mencipta puisi sejak awal 1990-an, kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel.Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa dan terangkum dalam lebih dari 50 buku bersama.
Selain buku kumpulan puisi, dia telah melahirkan buku kumpulan cerpen, antara lain CakraPunarbhawa (Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005), Perempuan yang Mengawini Keris(Jalasutra, 2011).Pada 2015, dia juga meluncurkan Magening (Kakilangit Kencana, 2015), novel pertamanya. Beberapa karya sastranya meraih penghargaan, antara lain Krakatau Award 2002 dari DewanKesenian Lampung, Cerpen Pilihan Kompas 2004, Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta, Nominator Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi se-Indonesia 2004, Nominator Anugerah Sastra Majalah Horison 2004, Penghargaan Widya Pataka dari Gubernur Bali (2007).
Dia sering menghadiri undangan pertemuan atau kegiatan sastra tingkat nasional, antara lain Pesta Emas RI di Taman Budaya Surakarta (1995), Kongres Cerpen Indonesia di Yogyakarta (2000), Panggung Puisi Indonesia Mutakhir 2003 di Teater Utan Kayu-Jakarta, Cakrawala Sastra Indonesia 2004 di TIM-Jakarta,Ubud Writer & Reader International Festival 2004 di Ubud, Festival Kesenian Yogyakarta 2007, Lampung Art Festival 2007, Temu Sastra MPU IV 2009 di Solo, Pertemuan Pengarang Indonesia di Makassar (2012), Temu Sastra Indonesia (TSI) di Jakarta (2012), Borobudur Writers and Cultural Festival di Borobudur (2012 dan 2014), ApresiasiSeni 2015 di NTB dan NTT, Kongres Kesenian Indonesia(KKI) di Bandung (2015). Hingga kini dia terus menulis untuk berbagai media, menjadi aktivis kesenian, dan bergiat di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), sebuah komunitas berkesenian di Denpasar. (ist)