PKB-40, Cerita Cangak Sukak di Gong Kebyar
(Baliekbis.com), Egois, loba, penuh tipu muslihat ialah tingkah polah tercela. Tetapi banyak manusia melakoninya dengan pongah. Dan kesenian mengingatkanya. Melalui fragmentari yang bertajuk “Cangak Sukak”, penonton diajak berbenah diri. Kisah kerakusan Sang Cangak yang dibalut penampilan religius membuat mangsanya terbius. Ucapannya yang santun dan arif membuat para ikan terpedaya. Tidak mengenal puas. Cangak melahap ikan-ikan itu sesuka hati. Malangnya, ia tersedak tulang ikan dan membuatnya merasakan sakit yang teramat sangat. Cangak merintih, memohon agar dewa menolongnya. Cangak pula berjanji tidak makan ikan lagi. Namun, pada akhirnya Cangak tetap melahap semua ikan-ikan di danau sekalipun dewa telah menolongnya. Celakanya sikap tamak Cangak ternyata mengantarnya pada ujung kehidupannya. Dengan penuh fantasi, lakon itu dipertunjukan dalam pagelaran PKB ke-40 oleh Sekaa Gong Anak-anak Wismaya Suara, Duta Kabupaten Karangasem di Panggung Terbuka Ardha Candra, Rabu malam (4/7).
Tidak hanya fragmentari, duta Kabupaten Karangasem pula menampilkan Tabuh Kreasi Pepanggulan Awu Latu, Rejang Pamedak Pasepan, dan Tari Legong Kuntul. Menurut Koordinator Sekaa Gong Anak-anak Wismaya Suara, I Wayan Suda, adanya kegiatan ini bertujuan mengisi waktu luang agar anak-anak tidak terjerumus pada hal-hal negatif yang tidak diinginkan”. Disamping itu, serupa dengan duta Kabupaten Karangasem, Sekaa Gong Jong Kumara, Duta Kabupten Badung pula menyentil tingkah tercela manusia melaui fragmentari yang berjudul Nandakarana. Dikisahkan Sambada adalah kepala para anjing yang berwatak licik dan suka mengadu domba. Dikisahkan pula sosok pemimpin bijaksana yakni Prabu Singa dan Prabu Lembu. Suatu ketika, Sambada mengadu domba Prabu Singa dan Prabu Lembu demi keuntungan pribadi.
Kisah tersebut dipentaskan bersaam dengan aksi menakjubkan lainya. Kami menampilkan Tabuh Kreasi Papanggulan Geni Ngabar, Rejang Padupan, dan Legung Kuntul, ujar Pembina Sekaa Gong Jong Kumara, A.A. Gede Lanang Ambara. Dan seringkali kepolosan anak-anak itu dalam memainkan peran mengundang tawa. Karena sejatinya anak-anak itu polos, sederhana, dan apa adanya. Seperti cerita yang mereka bawakan. Begitu sederhana dan apa adanya. Barangkali itu itulah cara seniman mengajak umat manusia untuk merenung.
Arja Klasik Panjer
Selain pementasan Gong Kebyar di panggung terbuka Ardha Candra, saat bersamaan di kalangan Ayodya yang terletak di utaranya berlangsung pementasan arja klasik. Arja klasik yang mengangkat lakon Sahnur ini dimainkan oleh Sekaa Arja Candra Asta Swari dari desa pakraman Panjer, Kecamatan Denpasar Selatan, kota Denpasar.
Menurut Koordinator Sekaa Arja Candra Asta Swari, Anak Agung Ngurah Eka Pratama lakon Sahnur mengisahkan tentang keturunan Dukuh Jumpungan yaitu pangeran Renggan yang beristrikan Ni Merahim. Mereka tinggal di Gunung Kila dan memiliki dua orang anak. Anak laki-lakinya yakni I Gede Maca yang terkenal akan ketampanannya dan memiliki menguasai ilmu pengetahuan yang luas, sehingga disegani masyarakat. Sedangkan anak perempuannya bernama Ni Tole. I Gede Maca mendengar kabar burung bahwa di Padang Galang ada seorang gadis cantik, Sang Ayu Mas Maketel. Tidak hanya I Gede Maca, yang mendengar kabar burung itu. Dalem Sawangan dari Nusa Penida juga mendengarnya dan ikut mencari Mas Maketel. Akhirnya yang berhasil mempersunting Mas Meketel adalah I Gede Maca karena berhasil menamai Padang Galang dengan Sah Nur, terang Eka Pratama. Cerita ini menurut Eka Pratama menjadi bagian dari sejarah Sanur.
Menurut Eka Pratama duta kota Denpasar sengaja ingin menampilkan arja klasik. Kita ingin menampilkan Arja berdasarkan pakem-pakem tradisi yang telah ada. Kita dari kota Denpasar ingin melestarikan Arja klasik ini, jelas Eka Pratama. Untuk itu ia dan sekaa arja nya mempersiapkan selama lima bulan. Pada arja tradisi, menurut Eka Pratama, gamelan yang dipakai adalah gamelan geguntangan dan kata-kata atau lagu-lagu yang terdiri dari bahasa kawi. Sedangkan untuk arja modern itu memakai lagu pop dan gambelannya menggunakan gamelan gong kebyar atau semar pegulingan. Untuk tim penampil sebanyak 21 orang penari arja dan penabuh semuanya memakai sumberdaya yang ada yang di Panjer sendiri. “Kita di sini nyebun, kita makek apapun yang ada di desa pakraman, Panjer. Sebab kita ingin melestarikan juga memperkuat seniman-seniman Panjer,” ucap Eka Pratama (gfb)