Politik Tidak Sehat Jika Paslon “Menekan” dengan Iming-iming Bantuan
(Baliekbis.com), Berbagai tanggapan muncul pascadebat perdana Pilgub Bali yang digelar Sabtu pekan lalu di Nusa Dua. Bukan hanya masalah kualitas paslon yang dinilai kurang memahami persoalan yang ada juga kemudian munculnya pemberitaan hasil polling pascadebat yang dilakukan beberapa media sosial dan disiarkan sejumlah media online dan mendapat sorotan dari kalangan akademisi yang menilai polling tersebut tidak didasarkan kajian ilmiah serta tidak dapat dipertanggung jawabkan.
“Kalau survei yang tidak memenuhi unsur-unsur ilmiah kemudian hasil survei itu dipublikasikan maka masyarakat bukannya teredukasi secara politik, tetapi malah membuat semakin apatis terhadap politik. Yang rugi malah masyarakat dan paslon atau kandidat yang disurvey,” tukas Dekan Fisip Unud Dr. Suka Arjawa.
Menurutnya saat ini masyarakat sudah paham dengan politik. Survei dari lembaga yang tidak resmi malah akan merugikan kandidat itu sendiri, karena hanya ingin menaikkan pencitraan dan terindikasi menggiring opini secara tidak bermartabat, sentilnya.
Debat yang ditonton hingga ke sejumlah wilayah di Tanah Air ini juga mengundang komentar pejabat dari Jayapura yang menilai pemaparan paslon nomor urut 2 Mantra-Kerta lebih ilmiah dan visioner. Bahkan komentar juga datang dari tokoh-tokoh di Jakarta dan Banten mengatakan hal yang sama. “Contoh, pemahaman Rai Mantra terhadap Oranye Ekonomic sangat luar biasa, sementara paslon lainnya tidak paham dan memberi jawaban yang ngawur,” ujar tokoh Banten yang cukup lama bertugas di Australia itu, Rabu (2/5). Ia juga mengkritisi hasil polling yang beredar pascadebat tersebut. Kalau polling dilakukan dengan metode yang benar, dengan responden yang benar, maka Rai Mantra jauh lebih cerdas dan lebih unggul dibandingkan lawannya yang banyak beretorika dan berbicara parsial, karena dia politikus. Sedangkan Rai Mantra seorang profesional yang membumi, mengetahui kebutuhan rakyat dengan mengembangkan konsep ekonomi oranye. “Rai Mantra jauh lebih visioner dan semoga rakyat Bali memilih calon yang “lascarya ngayah” dan memiliki konsep yang jelas membumi, termasuk dalam konsep pengembangan dan pelestarian pariwisata budaya,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan tidak sehat politik di Bali jika dilakukan oleh salah satu calon dengan cara “menekan” apalagi “mengancam” dengan iming-iming menyetop bantuan dan sebagainya. Pengamat politik dari Undiknas Dr. Nyoman Subanda memberikan beberapa catatan penting soal debat pertama tersebut dengan mengkritisi soal ‘satu jalur’.
Ia beranggapan telah terjadi pengkerdilan tagline satu jalur seperti yang dipahami oleh sebagian masyarakat Bali selama ini. “Penjelasan soal satu jalur tidak begitu spesifik. Satu jalur itu lebih diartikan sebagai jalan cepat untuk mengambil berbagai keputusan yang pro rakyat. Kalau pada tingkat ini, satu jalur itu bukan milik partai tertentu saja, bukan milik Paslon tertentu saja. Jadi penjelasan tidak begitu spesifik,” ujarnya.
Satu jalur juga bisa dipahami sebagai implementasi dari program-program pusat di daerah. Bukan malah sebaliknya, membuat pembedaan antara program pusat dan daerah. Sekalipun ada otonomi daerah, tetapi sebagai sebuah negara kesatuan maka program pusat harus terimplementasi dengan baik di daerah. Untuk konteks Bali di era otonomi daerah seperti sekarang ini, pemimpin perlu melakukan berbagai inovasi dengan cepat. Daerah bisa melakukan berbagai improvisasi tetapi tetap dalam koridor otonomi daerah. Bali tidak perlu sama dengan daerah lainnya di Indonesia. “Jadi satu jalur itu tidak mesti harus sama persis,” katanya mengingatkan.
Sementara anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Gede Sumarjaya Linggih mengatakan, secara konseptual dan operasional, Cagub I Wayan Koster belum bisa menjelaskan dengan baik berbagai pertanyaan yang disampaikan oleh panelis dalam debat. “Suaranya cenderung tinggi, emosional, tetapi isinya tidak diketahui apa yang akan disampaikan. Itulah sebabnya, banyak terjadi inkonsistensi antara program, visi dan misi dengan penjelasan yang disampaikan,” ujarnya.
Ia menyebut beberapa contoh, produk pertanian yang harus diserap pasar pariwisata. Regulasinya sudah ada. Tidak perlu membuat aturan baru lagi. Soal pariwisata budaya, aturan itu sudah ada, tetapi Paslon nomor 1 malah ingin membuat aturan baru. Begitu juga dengan pembangunan hotel, pembenahan destinasi dan sebagainya. “Kalau mau dicermati, dalam tiga segmen terakhir, Paslon nomor 1 asal menjelaskan hal yang sebenarnya dia sendiri tidak paham,” ujarnya.(nwm)