Prof. Ramantha: Bali Bisa Kembangkan SDA Non Material Sebagai Sumber Pendapatan
(Baliekbis.com). Meski tak memiliki sumber daya alam (SDA) fisik seperti tambang, hutan, perikanan, dll., Bali sebenarnya bisa mendapatkan pemasukan dari sumber daya alam non fisik (non material).
“Bali punya sumber daya seperti budaya, keramahtamahan masyarakatnya juga Brand Bali itu sendiri yang bisa memberikan pemasukan,” ujar Guru Besar FE dan Bisnis Unud Prof. Wayan Ramantha saat webinar terkait revisi UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemprov Bali serta Daerah Lainnya, Jumat (2/4) yang berlangsung dari studio DPD Golkar Bali.
Webinar yang dipandu Dewa Suamba Negara menghadirkan narasumber Wakil Ketua DPR RI Dr. HM Azis Syamsudin, Dekan Fak. Pariwisata Unud Dr. Nyoman Sunarta dan Dekan Fak. Hukum Unud.
Guru besar FE Unud ini melihat banyak celah untuk mengembangkan potensi dari Bali ini agar bisa menjadi sumber pendapatan. “SDA non material (non fisik) ini bisa jadi potensi dan modal pengembangan Bali. Namun agar sustainable maka perlu perawatan sehingga harus ada biaya. Gak mungkin mengggali dan melestarikan budaya tanpa dana,” tegas Prof. Ramantha.
Ia bahkan sangat mendukung kalau potensi SDA non fisik yang sangat besar ini diberdayakan lebih maksimal. “Kalau potensi fisik bisa habis, seperti tambang dan kayu hutan. Sedangkan pariwisata budaya semakin digali justru makin berkembang dan sustainable. Dan semakin mensejahterakan masyarakat,” ujarnya. Di akhir webinar, Ramantha sepakat perlunya ada revisi terhadap UU No.33/2004 ini agar upaya merawat SDA di Bali bisa lebih maksimal.
Sebab perawatan akan memerlukan biaya yang tidak kecil. “Untuk perjuangan ini semua komponen di Bali tentu harus kompak dan bersama-sama bekerja,” tambahnya. Riset yang dilakukan FE Unud menyebutkan untuk konsumsi ritual (merawat budaya), masyarakat Bali mengeluarkan 34 persen dari pendapatannya.
Sementara Ketua DPD Golkar Bali Sugawa Korry di awal paparannya mengatakan webinar terkait UU33/2004 ini bahas hal-hal penting dan strategis bagi Bali ke depannya.
Sebab UU ini belum mencerminkan keadilan secara utuh. Padahal tujuan UU tersebut untuk memberi keadilan dan keselarasan terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Ditambahkan hasil webinar ini nantinya akan dirangkum dalam sebuah buku dan setelah dimatangkan akan dibawa ke pusat untuk menjadi pertimbangan. Dijelaskan Bali dalam setahun menyumbangkan devisa dari pariwisata sekitar Rp120 triliun.
Namun yang kembali sekitar 8 persennya. Padahal dalam UU 33 tersebut secara tegas diatur dana perimbangan berkisar 40 persen. (bas)