Professor Diaspora Berikan Universitas Cara Siasati Industri 4.0
(Baliekbis.com), Dua professor diaspora yang bermukim di Amerika Serikat, Herry Utomo dan Ida Wenefrida dari Louisiana State University, baru-baru ini secara maraton berkunjung ke lima universitas untuk pemberdayaan dengan memberikan kuliah umum dan kerjasama akademik/riset yang disesuaikan dengan tuntutan Industri 4.0. Di era berplatform cyberphysical system (CPS) dengan algoritma komputer yang terintegrasi ini akan menuntut perubahan sistem ajar yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Pentingnya mengantisipasi terjadinya perubahan yang sangat mendasar inilah yang mendorong kedua professor diaspora tersebut untuk menyumbangkan pemikiran dan cara-cara mensiasati Industri 4.0, sekaligus juga memberikan kiat-kiat untuk merubah ancaman menjadi lompatan (leapfrogging).
Kelima universitas target dari kunjungan kedua professor tersebut adalah ITB (Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati), Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Tunas Pembangunan (UTP), dan Universitas Mataram (Unram). Kunjungan tersebut memiliki tujuan khusus. Topik-topik kuliah umum juga amat spesifik terkait dengan kondisi dan tantangan masing-masing universitas, yaitu “Pengembangan Teknologi Melalui Riset, Paten, dan Produk Kolaboratif” untuk SITH (ITB) tanggal 22/3/2019, “Membangun Ekosistem Kampus Kompetitif untuk Era Industri 4.0” untuk Unjani tanggal 22/3/2019, “Teknologi Smart Farming dan Strategi Ajar di Agriculture 4.0” untuk Unram tanggal 20/3/2019, dan “Lompatan Universitas Muda dalam Membangun Ekosistem Kampus yang Sangat Kompetitif di Era Industri 4.0” untuk UTP tanggal 18/3/2019. Paket kegiatan di masing-masing universitas tersebut merupakan inisiasi program dari dua professor ini dengan memberikan akses langsung bagi universitas-universitas tersebut ke diaspora dunia (IDN United – Indonesian Diaspora Network United), Indonesian American Society of Academics (IASA), dan berbagai universitas di Amerika tempat para professor diaspora tersebut berkiprah.
Disampaikan dalam kuliah umum dan diskusi dengan para dosen bahwa industri 4.0 telah memasuki berbagai sendi kehidupan. Efeknya akan semakin luas, mulai dari sektor pertanian, industri, jasa, informasi, maupun kehidupan sosial. Smart grit, self-driving car, atau sistem robotik adalah beberapa contoh proses otomatisasi dan bagaimana komputasi dan elemen fisik menjadi semakin membaur bersamaan dengan penggunaan kecerdasan buatan (AI, artificial inteligence). Salah satu akibat perubahan ini, maka dalam 3 tahun kedepan diperkirakan 35% dari pekerjaan yang penting saat ini tidak akan diperlukan lagi. Di negara-negara maju pada 2022 saja misalnya, diperkirakan akan kehilangan 73 juta pekerjaan. Namun, akan muncul 133 juta profesi baru dengan syarat keahlian yang berbeda. Karenanya, tantangannya adalah bukan memerangi pengangguran, tapi bagaimana memenuhi permintaan tenaga kerja berspesifikasi baru secara cepat dan dalam jumlah yang besar. Prof. Ida menyatakan bahwa lulusan perlu dibekali keterampilan sosial dan mind-set yang siap untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan ini.
Industri 4.0 itu tidak datang begitu saja, ujar Prof. Herry, tapi berfase-fase sesuai dengan pencapaian kapabilitas teknologi yang mendasarinya. Konsekuensinya, kebutuhan keahlian dan kontur lapangan pekerjaan akan berubah-ubah sesuai dengan fase-fase pertumbuhan yang cepat ini. Lulusan perguruan tinggi yang dihasilkan saat ini diperkirakan perlu 5-7 kali ganti keahlian selama karir profesinya. Sangat kontras dengan kondisi masa lalu dimana spesialiasi bersifat baku dan stabil. Disinilah filosofi dan strategi pembelajaran perlu disesuaikan. Prof Herry menambahkan bahwa kurikulum, materi ajar, dan cara pembelajaran perlu dikristalisasi untuk menumbuhkan iklim kreatif, imajinatif, dan problem solving dengan memberdayakan berbagai teknologi ajar terkini yang sudah demikian berkembang, serta memfasilitasi open-collaboration dalam ekosistem kampus yang terbuka dan global. Peran network dan professor diaspora perlu difungsikan untuk mempercepat proses ini melalui pembimbingan langsung. Konsep dari kedua professor tersebut juga menekankan perlunya perakitan unit-unit dasar bahan ajar yang dengan cepat bisa direkonfigurasi sesuai tuntutan dan dibangun dengan menggunakan kreatifitas murni maupun buatan (AI) sebagaimana yang direncanakan dalam program ini.
Kebijakan riset beserta institusi riset nasional yang ada saat ini masih terkesan tua, kaku, dan prosedural. Untuk itu, menurut kedua professor tersebut, perlu diremajakan sepadan dengan perkembangan dan kebutuhan Industri 4.0. Keduanya menambahkan tidak perlu ada keseragaman dalam mensikapi Industri 4.0. Setiap universitas wajib membangun keunggulan lokalnya sendiri. Untuk itu, selain keberhasilan dalam menghasilkan produk intelektual (perangkat lunak, kecerdasan buatan, konsep, atau desain), keberhasilan dalam menghasilkan produk unggulan yang convensional seperti varitas, komoditas, mesin, atau produk industri dasar yang lain juga merupakan faktor penting yang akan membedakan apakah bangsa ini akan menjadi pemain dalam Industri 4.0 atau hanya sebatas pengguna saja. (ist)