PSEL Tidak Selesaikan Masalah Sampah di Bali
(Baliekbis.com), Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), BaleBengong, PPLH Bali dan Nexus3 Foundation mengadakan rangkaian kegiatan media briefing terkait problematika pembangunan Pengolahan Sampah Energi Listrik (PSEL) di Provinsi Bali dan kunjungan media ke Desa Sari Dewi untuk melihat secara langsung pelaksanaan program Zero Waste Cities. Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Yuyun Ismawati (Nexus3 Foundation), IB Mandhara Brasika (Griya Luhu) dan Catur Yudha Haryani (PPLH Bali).
Provinsi Bali merupakan salah satu lokasi pembangunan PSEL dari 12 kota di Indonesia yang terpilih. PSEL yang akan dibangun di Provinsi Bali terletak di TPA Suwung dengan kapasitas 1.000 ton sampah per hari yang akan dibakar menggunakan teknologi termal. Dalam beberapa pertemuan yang dilaksanakan, perkembangan saat ini masih dalam persiapan market sounding untuk persiapan lelang dan rilis KA Andal.
Provinsi Bali termasuk lokasi yang masuk ke dalam Instruksi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 Kota Indonesia melalui Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018. Perpres ini ini sebetulnya menghambat kemajuan pengelolaan sampah di Indonesia karena membuat pemerintah kota dan kabupaten lengah melaksanakan minimalisasi, pengurangan, pemilahan dan meningkatkan pengangkutan sampah di wilayah mereka sesuai amanat UU Pengelolaan Sampah No. 18 tahun 2008. Lebih jauh lagi, hampir semua TPA sampah kota-kabupaten di Indonesia masih dioperasikan dalam bentuk open dumping, bukan Controlled Landfill ataupun Sanitary Landfill.
Sistem pengelolaan sampah di Provinsi Bali saat ini masih menggunakan sistem kumpul-angkut-buang. Sistem ini hanya menyelesaikan permasalahan sampah pada bagian hilir, yaitu dengan mengandalkan sarana dan prasarana Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan mimpi pembangunan fasilitas PSEL.
“Sejak tahun 2003, Bali sudah mencoba teknologi termal untuk mengolah sampah di TPA Suwung tetapi gagal. Seharusnya pemerintah Provinsi Bali menyampaikan kepada Presiden, pembelajaran dari kegagalan WTE periode 2004-2016 agar tidak terulang lagi. Masyarakat tidak bisa menunggu 20 tahun lagi untuk manajemen sampah di TPA dengan ‘teknologi canggih’. Dengan biaya yang sama, sebetulnya dapat dicapai pemilahan sampah dan pengomposan di sumber atau di kawasan, peningkatan persentase pengangkutan sampah sampai 80%, dan pengoperasian TPA dengan teknologi Sanitary Landfill selama 15 tahun,” ujar Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3.
“Satu hal yang selalu diabaikan para pengusung/pendukung WTE/PSEL, adalah limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan pembakaran sampah dengan teknologi termal. Di setiap kota yang memiliki PSEL harus ada TPA khusus limbah B3. Jika tidak ada, harus diangkut ke kota lain atau ke Pulau Jawa dengan biaya dan transportasi khusus limbah B3. Saat ini racun dioxins sudah masuk ke dalam rantai makanan yang paling rendah, yaitu telur ayam, dalam konsentrasi tinggi yang membahayakan kesehatan,” kata Yuyun.
Dalam UU Pengelolaan Sampah No. 18 Tahun 2008 Pasal 29 ayat 1 butir (g) dinyatakan bahwa ‘Setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah’. Ini artinya komposisi sampah dan metode pembakarannya harus sesuai dengan persyaratan teknis. Sampah di Indonesia tidak memenuhi persyaratan teknis karena rata-rata nilai kalor berkisar antara 2.000-6.000 kJ/kg lebih rendah daripada standar nilai kalor terendah (low heating value/LHV) yaitu 10.000 kJ/kg.
Jika dilihat dari berbagai aspek (teknologi, kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi), pembangunan dan operasional PSEL jelas tidak layak dan tidak berkelanjutan. Khususnya dalam aspek finansial, pembangunan PSEL berpotensi merugikan negara dan pemerintah daerah karena biaya yang digunakan untuk pembangunan dan operasional PSEL sangat tinggi dibandingkan penanganan secara sanitary landfill. Pembiayaan pembangunan dan pengoperasian PLTSa akan menggunakan dana APBN/APBD yang dananya terbatas, sehingga Pemerintah juga mengandalkan investasi asing berbagai negara maupun lembaga keuangan.
“PSEL akan menjadi jalan mundur dalam pengelolaan sampah di Bali. Usaha Pak Gubernur yang diapresiasi secara nasional dan internasional akan sia-sia. Bapak Gubernur sangat luar biasa sudah komit menghasilkan Pergub No. 97 tahun 2018 dan Pergub No. 47 tahun 2019 yang mengedepankan pengelolaan sampah di sumber. Namun dengan PSEL, masyarakat akan berhenti memilah, desa adat dan desa dinas akan gagal mengelola sampah di sumber karena sampah akan dibawa ke PSEL. Tentu ini akan mencoreng nama baik Gubernur dan Pemerintah Provinsi Bali dan melunturkan kepercayaan masyarakat,” ujar IB Mandhara Brasika, pendiri Griya Luhu.
Berdasarkan kajian proyek PSEL oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, proyek ini membebani pemerintah daerah karena biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS) yang bersumber dari APBD hanya berdasarkan volume per ton yang dikelola. Biaya itu tidak termasuk biaya pengumpulan, pengangkutan, dan proses akhir.
Proyek ini berpotensi merugikan kas daerah, terutama apabila pemerintah daerah tidak mampu memasok sampah ke fasilitas PSEL, maka investor akan mengenakan denda kepada pemerintah daerah. Perlu diingat bahwa kontrak kerjasama pembangunan dan pengoperasian fasilitas PSEL ini akan mengikat Pemerintah Daerah selama 20-30 tahun ke depan. “Menurut saya, secara legal, PSEL tidak dapat dibangun di Bali karena Gubernur sudah mengeluarkan PerGub No. 47 tahun 2019 tentang pengelolaan sampah berbasis di sumber. Jika PSEL tetap dibangun, hal ini akan mencederai dan bertentangan dengan kebijakan Gubernur Bali,” ujar Catur Yudha Hariani, Direktur PPLH Bali.
“Sampah adalah tanggung jawab setiap individu. Tindakan paling mendesak untuk dilakukan adalah pengurangan produk baru agar tidak ada sampah baru. Hal ini sudah tertuang dalam Pergub No. 97 tahun 2018 tentang pengurangan timbulan plastik sekali pakai. Jika ada sampah, segera pilah dan daur ulang. Dengan begitu kita tidak perlu menggunakan incenerator karena akan merugi baik secara ekonomi, kesehatan dan lingkungan serta jadi monumen. Biaya membangun PSEL sangat mahal. Lebih baik digunakan untuk biaya edukasi masyarakat dan memfasilitasi 70% desa desa yang masih belum memiliki TPST,” imbuh Catur.
Salah satu contoh keberhasilan program zero waste cities tersebut sudah dilakukan komunitas ibu-ibu di Gang Sari Dewi, Banjar Tegeh Sari, Denpasar Utara. Komang Ariani dari perwakilan masyarakat Sari Dewi mengatakan dulu sebelum ada program zero waste cities dia menyapu 3 kali sehari karena tidak bisa lihat di depan sampah kemasan jajan berserakan. “Saya membayar jasa pengangkutan sampah tiap bulan jadi tidak mengolah sampah di rumah. Sampah bercampur jadi satu lalu diangkut sama tukang sampah,” ujar Komang Ariani.
“Setelah ada program zero waste cities, lingkungan saya bersih. Dulu, anak-anak habis jajan buang sampah sembarang. Sekarang jadi lebih gampang nyapu dan sampah anorganiknya saya pilah dan dapat di tabung. Senang juga menambah pengetahuan tidak hanya tahu urusan dapur saja. Memilah sampah tidak sulit, karena sudah wadah untuk masing-masing jenis sampah, tinggal mempraktekkannya. Anak-anak saya sudah paham dan mengerti, tidak ada hambatan untuk memilah,” lanjut Komang Ariani.
Rangkaian kegiatan ini diharapkan sebagai pesan untuk meningkatkan informasi kepada masyarakat serta dalam advokasi peninjauan ulang pembangunan PSEL maupun teknologi termal sebagai pemusnah sampah di Provinsi Bali. Dan juga mempromosikan pendekatan Nol Sampah (Zero Waste) sebagai solusi pengelolaan sampah yang berkelanjutan di Provinsi Bali. (ist)