Putu Suasta: PKB adalah “Mutiara Bali”
(Baliekbis.com),Hingga tahun ini, PKB (Pesta Kesenian Bali) telah terselenggara 41 kali, sejak 1978. Sebuah gagasan yang luar biasa cemerlang dari mantan Gubernur Ida Bagus Mantra dalam upaya pelestarian, pewarisan dan pengembangan kesenian tradisonal Bali.
Dalam satu dekade terakhir, PKB juga telah melibatkan sejumlah kesenian Nusantara dan luar negeri sebagai peserta tamu. Suatu bukti bahwa PKB telah menemukan eksistensinya sebagai wadah dalam pelestarian kesenian Bali.
Keajegan PKB dari konsistensi penyelenggaraan setiap tahun membuktikan beberapa hal. Pertama, concern Pemvrop Bali terhadap kesenian tradisonal Bali yang hingga saat ini terjaga baik. PKB adalah perhelatan masyarakat Bali di mana Pemprov Bali menjadi penyelenggara dan mewadahi seluruh fasilitas dan pendanaan perhelatan kesenian ini. “Inilah satu-satunya kepedulian besar pemerintah atas dunia kesenian di Bali dan yang paling besar,” ungkap seniman Putu Suasta,M.A., Sabtu (15/6/2019) mengomentari PKB tahun ini yang dibuka Presiden Jokowi.
Kedua, bagi masyarakat Bali, terutama kaum senimannya, PKB adalah ruang besar bagi kebanggaan sebagai pelesiran masyarakat dan sebagai wadah besar dalam memperlihatkan kreativitas kesenian mereka. Apalagi PKB belakangan ini bukan saja melibatkan seni-seni tradisi (Bali), namun juga telah mulai memberi ruang berkiprah bagi seniman non tradisi (pelukis, pemain teater modern). “Bahkan PKB 2019 ini juga mulai melibatkan aksara dan sastra Bali sebagai bagian penting dalam kiprah kesenian di PKB,” tambah master jebolan Amerika ini.
Ketiga, keterlibatan Pemerintah Kabupaten di Bali juga tak kalah seriusnya menyiapkan perwakilan kesenian mereka di setiap PKB. Bagi mereka, PKB adalah ajang besar untuk mempertunjukkan kemampuan pencapaian kesenian dan budaya mereka. Meski tiap kabupaten memiliki sejenis PKB tersendiri (dengan nama-nama yang tak sama satu sama lain), namun bagi Pemkab di Bali, PKB adalah suatu mercusuar untuk mengangkat kekhasan dan pencapaian kesenian mereka.
Keempat, ketika PKB menjadi ajang hiburan dan pementasan, ia juga menjadi pengetahuan bagi seluruh masyarakat Bali. Masyarakat menjadi ‘terjaga’ akan keseniannya dan seniman juga mendapatkan ruangnya untuk mengembangkan puncak-puncak kreatifnya. Dalam konteks ini, menurut Putu pelestarian, pewarisan dan pengembangan telah tercapai.
Dengan demikian, dari aspek latar belakang dan tujuannya, PKB memang pantas dipertahankan. Dan dari aspek kontennya, estetika dan budaya yang digelar tak perlu diragukan lagi. “PKB menjadi akumulasi dari seluruh kesenian tradisional yang selama ini jarang kita saksikan secara menyeluruh,” ujar pengarang sejumlah buku “tokoh” di Tanah Air ini.
Bali adalah ruang kesenian besar setiap hari dan PKB mengemasnya menjadi satu bagian integral untuk dapat dilihat oleh publik selama satu bulan.
PKB sesungguhnya dapat dijadikan semacam ruang studi bagi mereka yang mendalami kesenian tradisional Bali. Kesenian Bali yang selama ini dipentaskan di berbagai tempat di Bali, maka dalam PKB hampir semuanya dapat disaksikan dalam satu event besar yang disebut PKB. Hampir seluruh kesenian tradisi Bali (kecuali yang disakralkan!) dipentaskan dan hampir semua pencapaian produk-produk khas tiap kabupaten di Bali dapat disaksikan di event besar ini.
Dari, Oleh dan Untuk Bali
Bahwa PKB adalah dari, oleh dan untuk masyarakat Bali, itu baik sekali. Namun diketahui bahwa konten PKB adalah bagian dari yang melekat di Bali dan sesungguhnya bukanlah suatu hal yang asing bagi mereka sehari-hari. Bebondresan, kecak, arja, drama gong, beleganjur, sendratari Ramayana, untuk sekadar contoh, adalah bagian keseharian masyarakat Bali. Meski bagi masyarakat Bali hal itu sudah tak asing lagi, namun mereka masih tetap berbondong-bondong ke Taman Budaya Provinsi Bali (Arts Centre) tiap hari.
PKB adalah pertunjukan besar dengan konten adiluhung hasil dari cipta karsa karya seniman-seniman Bali. Selain PKB untuk masyarakat Bali khususnya, nampaknya event besar ini sudah dapat dimulai untuk menjadi unggulan utama bagi Bali untuk dikabarkan ke luar negeri. Konten PKB yang memperlihatkan puncak-puncak pencapapain seni tradisional Bali sungguh-sungguh layak dan pantas dipertarungkan dengan seni-seni dunia luar.
“Dalam pengamatan saya selama ini, belum terlalu kelihatan bahwa masyarakat dunia datang dan selain mencari hiburan dalam PKB, mereka juga dapat secara mendalam memahami dan mengapresiasi kesenian-kesenian tradisional Bali yang sarat dengan nilai estetik adiluhung itu. Belum saya lihat puluhan bis yang mengangkut tamu-tamu asing untuk datang ke PKB ini. Saya tak tahu mengapa hal ini tak terjadi padahal konten PKB sangat pantas menjadi ‘destinasi seni internasional’,” ungkap Putu.
“Inilah yang saya maksud sebagai ‘pelebaran’ dalam esai ini, pelebaran dalam menjangkau lebih banyak apresian potensial. Karena jika hal ini dilakukan maka Bali akan dapat mengandalkan satu lagi destinasi primadona dalam mendatangkan turis asing ke Bali. Jamak diketahui bahwa seni budaya menjadi salah satu penarik yang potensial dalam ranah turisme.
Sebagai contoh, Cina sejak satu dekade belakangan ini mencoba membangun ‘raksasa seni rupa’ melalui berbagai kegiatan seni rupa, di antaranya yang paling menjadi ‘jualan’ adalah event-event biennale seni rupa. Dan nampaknya usaha itu berhasil karena kini Cina sangat diperhitungkan dalam khasanah seni rupa dunia, setidaknya di tingkat Asia.
Dalam hal ‘menjual’ destinasi seni, Australia juga tak mau kalah. Selain mengandalkan panorama alamnya yang fenomenal, Negeri Kanguru itu juga kini dapat mengedepankan Sydney Biennale yang telah mendapat tempat di kalangan seniman dunia. Merena mengelola Sydney Biennale dengan sangat canggih menyangkut managemen, persiapan yang matang, pilihan tema-tema biennale yang aktual disesuaikan dengan isu-isu global, penerbitan berkala yang dikirim ke email-email media, instansi budaya dan seniman di seluruh dunia.
“Maka, masalah klasik kita di Bali sesungguhnya adalah persoalan manajemen. Sementara kita begitu kaya dengan budaya dan seni serta proses penciptaan yang kreatif, namun pengelolaan secara profesional masih belum optimal sejauh ini,” ujarnya.
Seakan-akan PKB adalah urusan kegiatan rutin setiap tahun dengan menyediakan sejumlah dana; seakan-akan PKB adalah harus ada karena telah menjadi bagian yang telah ditetapkan oleh Pemprov Bali. “Padahal yang saya tahu, selalu ada tindakan evaluatif pascaPKB diselenggarakan. Saya tidak tahu apakah kesungguhan untuk melebarkan apresian
, melebarkan kinerja dengan melibatkan lebih banyak tenaga-tenaga ahli/manajemen menjadi bagian pembicaraan utama.
“Atas nama globalisme, dunia menjadi ‘mengecil’ dan kita masih saja berkutat pada stagnasi rutinitas. Pada hemat saya, PKB adalah ‘mutiara Bali’ yang sepertinya tak sanggup kita buka cahayanya ke dunia. Padahal ia adalah ‘mutiara’,” ujar Putu.
Seandainya segala hal yang menjadi potensi besar kita dapat dikemas dengan baik. Ingatlah, semua dalam dinamika budaya kontemporer saat ini adalah ‘dunia kemasan dan profesionalisme’. Dua hal itu sedikitnya telah menjadi keniscayaan dalam pergulatan strategi kebudayaan global. Jika bisa memainkan ini, dunia tidak lagi hanya menganggap Bali sekadar pantai, panorama sawah dan kecak, tetapi sebuah destinasi kebudayaan yang menjanjikan hiburan dan studi budaya. (sta)