Rangkaian Karya Agung di Desa Adat Kerobokan: Krama Adat Menggelar Upakara “Mapepada”
(Baliekbis.com), Bertepatan pada Saniscara Pon Dunggulan (Sabtu, 27/7/2019), krama Desa Adat Kerobokan menggelar upakara ‘Mapepada’ di Pura Desa lan Pura Puseh setempat.
Upacara Mapepada ini merupakan rangkaian Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Ngusaba Desa, Ngusaba Nini, Tawur Balik Sumpah Utama, Pedudusan Agung lan Segara Kerthi di Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kerobokan Badung yang telah dimulai pada Rabu Kliwon Gumbreg, 19 Juni lalu dengan “matur piuning dan pewintenan panitia karya”.
“Mapepada Karya” yang dimulai sejak pagi dipuput Ida Pedanda Gde Putra Keniten. Dalam karya ini ditampilkan Sekaa Gong dan Sekaa Kidung Banjar Padang Sumbu Kaja. Manggala Karya Drs. A.A. Ngurah Gde Sujaya,M.Pd. didampingi Bendesa Adat Kerobokan A.A. Putu Sutarja,S.H., Sabtu (27/7/2019) di sela-sela upakara mengatakan berbagai hewan digunakan untuk “ulam” suci upakara di antaranya kerbau, kambing, penyu, ayam, bebek, babi termasuk angsa.
“Jadi hewan ini disembelih untuk dijadikan ‘ulam’ suci yang harus ada dalam Karya Agung ini. Dagingnya untuk ‘ulam’ suci sedangkan tulangnya untuk ‘titi mamah’,” ujar Sujaya, MPd.
Upacara Mapepada ini merupakan rangkaian kurban suci berbagai jenis binatang, yang diperlukan untuk melengkapi rangkaian Karya di Pura Puseh dan Desa. Hewan tersebut disucikan, didoakan kemudian disembelih. Secara spiritual roh-roh hewan yang digunakan sebagai sesajen ke depannya ketika menjelma kembali akan meningkat menjadi ciptaan Tuhan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Rangkaian Karya Agung di Pura Puseh dan Pura Desa Adat Kerobokan ini telah dimulai Rabu Kliwon Gumbreg, 19 Juni lalu dengan “matur piuning dan pewintenan panitia karya”. Selanjutnya pada Saniscara Wage Julungwangi (13/7) “Pemelaspas dan Mendem Pedagingan”. Dalam upacara ini hadir Bupati Badung Nyoman Giri Prasta, Anggota DPR RI A.A.B. Adhi Mahendra Putra serta seluruh krama Desa Adat Kerobokan.
Pada Anggara (16/7) dilaksanakan Nuwur Pekuluh, Buda (17/7) Ngiyas Ida Bhatara dan pada Wraspati (18/7) Melasti ke Petitenget. Pada Redite (21/7) Tawur dan pada Saniscara (27/7) Mapepada Karya. Sedangkan pada Redite (28/7) dilaksanakan Melaspas Upakara. Pada hari ini krama adat juga menggelar Lomba Ngelawar ke-2, yang salah satu tujuannya untuk melestarikan kuliner tradisional. “Sekarang ini kan banyak makanan yang siap saji. Kita ingin kuliner tradisional tetap terpelihara dan lestari,” ujar Bendesa Adat Kerobokan A.A. Putu Sutarja,S.H.
Puncak Karya Agung ini jatuh pada Soma Kliwon Kuningan (29/7/2019). Setelah Puncak Karya akan dilaksanakan ‘Nyineb’ pada Anggara Pon Langkir (6/8). Manggala Karya Drs. A.A. Ngurah Gde Sujaya,M.Pd. menjelaskan karya agung ini digelar menyusul telah selesainya pembangunan di Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kerobokan Kuta Utara Badung. Dalam upacara yang akan berakhir pada 9 Agustus nanti yakni Nyegara Gunung dan Bulan Pitung Dina Karya, seluruh rangkaian upacara dipuput 16 sulinggih siwa, buda dan bujangga.
Sujaya menambahkan upacara ini dilaksanakan sebagai wujud rasa Stiti Bhakti dan Angayubagia (Puji syukur dan bhakti) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) atas Penciptaan Alam Semesta ini dan atas segala anugrah yang telah dilimpahkan kepada umat manusia dalam kehidupan ini.
Selain itu, upacara untuk menyucikan seluruh bangunan (pelinggih) pada tempat suci atau Pura dan lingkungan Pura yang terdiri dari Tri Mandala yakni Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala, dimana sebelumnya bahan bangunannya terdiri dari unsur yang belum suci, termasuk sentuhan para tukang (undagi) yang perlu disucikan. Mengingat fungsinya sebagai tempat suci yaitu tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam berbagai wujud kebesaran dan saktiNya, sebagai tempat bagi umat sedharma untuk memuja kebesaran-Nya dan menghaturkan sembah bhakti (sembahyang dan berdoa).
“Juga untuk membangun kesadaran kolektif bagi umat sedharma untuk selalu eling (ingat) akan tugas, kewajiban kehadapan Sang Pencipta Alam Semesta dengan segala isinya, termasuk membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa Ida Sang Hyang Pencipta, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam lingkungan, yang terbalut dalam ”Tri Hita Karana”, yaitu Parhyangan/tempat suci, Pawongan dan Palemahan,” jelasnya.
Pelaksanaan karya upacara ini untuk mengingatkan kembali akan tanggung jawab hidup bagi umat sedharma bahwa Buana Agung (makrokosmos) yang telah tercipta ini, merupakan satu-satunya tempat kehidupan untuk hidupnya umat manusia dan makhluk hidup lainnya.
“Hal ini memberikan pesan agar jagat raya (alam semesta) yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhuta yaitu Pertiwi, bumi (unsur padat), Apah (unsur cair), Teja (unsur panas), Bayu (unsur udara/angin) dan (5) Akasa/Ether (unsur kosong) untuk tetap dipelihara, dilestarikan dan tidak dirusak baik secara langsung maupun tidak langsung,” tambah Bendesa Adat Kerobokan A.A. Putu Sutarja,S.H. seraya mengatakan seluruh kegiatan pembangunan dan upacara menelan anggaran sekitar Rp6 miliar.
Sejalan dengan maksud dan tujuan upacara tersebut maka tema yang diangkat adalah “Gunaning Sarira Thirta Buana” yang artinya umat manusia sebagai yang disebutkan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki derajat tertinggi dari makhluk hidup lainnya. Karena memiliki tiga kekuatan/potensi (premana) yaitu Bayu, Sabda, Idep yang berfungsi dan berguna untuk menjaga dan memelihara kesucian, keutuhan Bhuana Agung dan Bhuana Alit dengan segala isinya (pertiwi/bumi, air/tirtha, teja/panas, bayu/udara/angin, akasa/ether, demi keberlangsungan kehidupan semua makhluk hidup dalam hidup ini secara aman, damai, harmoni, sejahtera lahir & bathin (sekala dan niskala). (bas)