Rencana Pengurangan SKS, Eko Cahyono: Tingkatkan Skill Agar Lulusan Tak Banyak Menganggur
(Baliekbis.com), Pemerhati pendidikan yang juga ekonom H.M. Eko Budi Cahyono, S.E.,M.M.,M.H., menilai kebijakan pengurangan SKS pada pendidikan sarjana dan diploma yang diwacanakan Menristekdikti sebagai terobosan untuk merespons tantangan di era revolusi industri 4.0.
Diharapkan nantinya mata kuliah dan proses pembelajaran tidak melulu berfokus pada teori tapi pada skill atau keterampilan yang dibutuhkan dunia industri. Sehingga tamatan bisa langsung kerja atau membuka lapangan usaha baru. “Pengurangan SKS ini tepat untuk meningkatkan daya saing dan keterampilan lulus perguruan tinggi sehingga tak sampai menganggur. Jangan hanya berbekal terlalu banyak teori,” kata Eko Cahyono yang juga caleg DPR RI dapil Bali nomor urut 2 dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) itu di Denpasar, Selasa (11/12).
Sebagaimana diketahui Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mewacakan akan mengurangi atau melakukan pemangkasan terhadap satuan kredit semester (SKS) program sarjana dan diploma di perguruan tinggi. Namun berapa pastinya SKS yang akan dikurangi masih dikaji secara matang oleh Kemristekdikti.
Menurut Eko, di era industri 4.0, perguruan tinggi diharapkan tidak malah mencetak calon pengangguran terdidik. Melainkan SDM siap kerja dan berdaya saing global serta adaptif dengan perubahan dan digitalisasi. Sebab saat ini masih banyak ditemukan lulusan perguruan tinggi yang berlabel pengganguran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2018, ditemukan pengangguran terdidik masih cukup tinggi. Tercatat untuk pengangguran lulusan D1-D3 mencapai 6,02 persen. Sedangkan, pengangguran lulusan sarjana (S-1) mencapai 5,89 persen. Ironisnya, pengangguran lulusan sarjana jumlahnya meningkat dibandingkan Agustus 2017 yang sebesar 5,18 persen.
“Perguruan tinggi jangan lagi mencetak lulusan yang tidak punya kompetensi dan akhirnya jadi pengangguran. Jadi paradigma pengelolaan pendidikan tinggi ini harus ditransformasikan sesuai tuntunan era revolusi industri 4.0,” kata Eko Cahyono yang juga pendiri Ekonomi Bali Creative itu. Pria dengan tagline “Masuk Pak Eko ke Senayan” itu menambahkan selama ini jumlah SKS yang berkisar 144 hingga 146 SKS dinilai terlalu banyak. Selain itu banyak juga mata kuliah yang sudah usang dan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri.
Kebanyakan materi yang dipelajari di perguruan tinggi juga tidak diingat lagi oleh mahasiswa setelah lulus dan tidak bisa digunakan di dunia kerja. Ketika SKS dikurangi akan membuat praktik diperbanyak terutama ketrampilan teknis yang dibutuhkan industri. “Di negara maju seperti Inggris jumlah mata kuliah dan SKS untuk sarjana tidak terlalu banyak. Hanya sekitar 120 SKS. Mahasiswa pun bisa fokus pada peningkatan skill dan kompetensi sesuai tuntunan dunia kerja yang dinamis dan perubahannya cepat,” imbuh Eko
Dia juga menyarankan perlu tranformasi dalam penyusunan kurikulum perguruan tinggi kemudian membuka progam studi baru yang sesuai kebutuhan industri 4.0 dan perkembangan ekonomi digital. Misalnya progam studi e-commerce, digital marketing, cyber law hingga ekonomi kreatif (seperti jurusan fesyen atau kuliner).
“Jurusan atau program studi perguruan tinggi jangan itu-itu saja. Kuno dan tidak update. Perguruan tinggi harus berani melakukan self disrupstion. Kalau tidak, maka akan kalah saing dan terus mencetak SDM yang kalah saing juga dan jadi pengangguran,” tandas Eko yang pernah mengabdi sebagai Tenaga Ahli Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal.
Sebelumnya diberitakan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi saat ini sedang mengkaji berapa jumlah maksimal SKS pada jenjang sarjana dan diploma. Sebagaimana dilansir PikiranRakyat, Menristekdikti Mohamad Nasir menyatakan, pengurangan SKS merupakan satu dari beragam cara untuk meningkatkan daya saing lulusan perguruan tinggi. “Saya kira 120 SKS untuk sarjana dan 90 SKS untuk jenjang diploma itu sudah cukup,” kata Nasir dalam Seminar Nasional Kinerja 4 Tahun Kemenristekdikti di Universitas Diponegoro, Semarang, Jumat (30/12). (emc)