Respon Permohonan Pelaku IHT, Pemerintah Relaksasi Aturan Pembayaran Cukai
(Baliekbis.com), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan menunda pembayaran cukai dalam jangka waktu paling lama 90 hari kepada para pengusaha tembakau. Adanya stimulus non-fiskal ini merupakan tindakan responsif pemerintah dalam menindaklanjuti permohonan Asosiasi Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau. “Ini dilakukan dalam rangka menjaga keberlangsungan usaha dan cash flow industri hasil tembakau,” demikian keterangan resmi Kemenkeu, Sabtu, 24 Juli 2021.
Berlangsungnya pandemi COVID-19 gelombang kedua dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang diterapkan ke hampir seluruh kota di Indonesia telah memunculkan berbagai spekulasi soal daya tahan ekonomi negara dan penghidupan masyarakat. Bagi pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT), di tengah kondisi sulit yang ada, terdapat tiga tantangan besar yang kini dihadapi, mulai dari menurunnya ekonomi masyarakat sebab pandemi, kekhawatiran kembali naiknya tarif CHT, hingga kemungkinan penyederhanaan struktur tarif cukai (simplifikasi). Keresahan ini bukan tanpa alasan mengingat, sejak dua tahun terakhir, pemerintah memang telah melakukan kenaikan tarif CHT secara eksesif.
Dari relaksasi yang diberikan pada pengusaha IHT, pemerintah mulai menunjukkan keberpihakannya pada industri yang menyumbang pendapatan besar ke negara ini.
Diketahui, aturan PPKM nyatanya juga memberi dampak berupa ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran terbuka di beberapa provinsi. Termasuk di daerah sentra tembakau yang notabene serapan tenaga kerja oleh IHT jadi tumpuan ekonomi daerah, sebut saja Kudus, Temanggung, Jember, dan Deli.
Beban pandemi yang cukup besar tentu membuat pelaku IHT cemas memasuki semester kedua 2021 lantaran agenda-agenda pelemahan industri yang semakin gencar dikemukakan oleh pihak anti tembakau. Hal tersebut lantas memicu pertanyaan besar bagi pelaku IHT atas perlindungan negara pada keberlangsungan usahanya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan mengatakan komisi sampai saat ini menolak wacana kenaikan tarif maupun simplifikasi CHT. Dia berharap pemerintah lebih berfokus terhadap penanggulangan pandemi COVID-19 terlebih dahulu, ketimbang melahirkan kebijakan baru yang ekstrem seperti itu. “Saat ini bukan waktu yang tepat. Tidak ada urgensinya sama sekali. Lebih baik pemerintah menjaga IHT dengan kebijakan yang soft mengingat situasi ekonomi sedang tidak bagus dan sulit untuk mencari pekerjaan. Tarif cukai juga ada baiknya tidak naik dulu, kalaupun naik harus sesuai kemampuan dan masukan dari pelaku industri terlebih dahulu, CHT jangan dilihat dari perusahaan-perusahaan besarnya saja, tapi juga petani dan buruh yang terlibat perlu diperhatikan,” ujar Daniel.
Di sisi lain, kenaikan CHT dan dorongan simplifikasi cukai bisa semakin menaikkan risiko peredaran rokok ilegal di kalangan masyarakat ekonomi rentan. Peredaran rokok ilegal punya sejumlah dampak bahaya bagi perekonomian, mulai dari hilangnya potensi penerimaan cukai, pajak pertambahan nilai (PPN), hingga pajak daerah. Adapun klasifikasi rokok ilegal pun beragam. Mulai dari rokok tanpa pita cukai, pita cukai sudah kadaluarsa, atau praktik yang biasa terjadi, pita cukai untuk SKT dilekatkan di kemasan SKM, sehingga ketika dijual secara eceran menjadi lebih murah.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Profesor Candra Fajri Ananda menuturkan bahwa pengenaan kebijakan harga (price policy) untuk alasan perlindungan kesehatan menjadi strategi yang kurang tepat sasaran. “Apabila pemerintah memang ingin menyelesaikan masalah kesehatan maka yang perlu dicari adalah solusi untuk mengendalikan efek produk tembakau, bukan membunuh industrinya melalui kenaikan tarif ataupun simplifikasi yang eksesif,” paparnya saat dihubungi (09/07).
Kebijakan penetapan cukai hasil tembakau (CHT) yang adil diperlukan agar pasar rokok legal tidak terbebani dan bisa memenuhi permintaan secara legal pula. Salah satu jalan tengah yang adil bagi produsen rokok dan pemerintah saat ini adalah dengan menyusun peta jalan (roadmap) industri. “Melalui peta jalan yang multiobjectives, kita berharap hal tersebut dapat membantu IHT untuk dapat menyesuaikan kebijakan industrinya dan tidak menjadi kaget ketika pemerintah menerapkan kebijakan IHT tertentu,” tambah Candra.
Candra juga tidak menampik negara saat ini punya pekerjaan bersama yang lebih besar, yakni penanggulangan pandemi. Oleh karenanya, ia melihat saat ini urgensi untuk melakukan penyesuaian tarif cukai belum terlalu diperlukan. “Di tengah pandemi, IHT menjadi salah satu sektor usaha yang berkontribusi besar menopang perekonomian negara. Kalau semakin ditekan justru dapat memberikan dampak negatif bagi penerimaan negara,” jelasnya. (ist)