RUU Pemilu Disahkan, PSI Bali Prihatin Karena Akan Banyak Gugatan
(Baliekbis.com), Pasca disahkannya RUU pemilu menjadi Undang-Undang pemilu Jumat (21/7/2017) lalu masih menyisakan tanda tanya besar bagi sebagian masyarakat Indonesia termasuk Partai Solidaritas Indonesia Bali. Menurut Ketua DPW PSI Bali, I Nengah Yasa Adi Susanto, S.H., M.H., CHT., RUU pemilu yang sudah disahkan ini sarat dengan kepentingan dan pertarungan antarpartai politik yang saat ini memiliki wakil di DPR. “Ada dua isu krusial yang menjadi sangat sexy untuk dibahas dalam UU pemilu yakni pasal terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan pasal terkait dengan verifikasi faktual partai politik peserta pemilu,” ungkap Bro Adi saat membuka Kopi Darat Daerah (Kopdarda) PSI Kabupaten Badung dan Denpasar, Minggu (23/7) di Samani Resto, Denpasar.
Terkait dengan pasal yang tidak mengharuskan partai politik yang ikut pemilu di tahun 2014 lalu untuk tidak diikutkan verifikasi oleh KPU sangat bertentangan dengan asas keadilan sesuai dengan pasal 5 huruf g UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. “Seharusnya setiap partai politik diverifikasi oleh KPU sebelum dinyatakan bisa bertarung pada pemilu 2019 nanti,” tegas advokat muda ini. Hal tersebut juga sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi MK yang membatalkan ketentuan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu yang berbunyi, Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu pada pemilu berikutnya.
“Jadi sangat aneh bila anggota DPR beserta pemerintah berkomplot untuk menghidupkan pasal tersebut lagi yang tidak mengharuskan parpol lama untuk ikut verifikasi KPU sebagai syarat untuk bisa ikut pemilu di tahun 2019 nanti,” imbuhnya. Bila MK konsisten dan tidak diintervensi oleh pihak penguasa dan parpol lama pihaknya yakin 100% pasal yang tidak mengharuskan parpol lama untuk diverifikasi KPU akan dengan mudah dibatalkan MK nanti saat PSI mengajukan judicial review ke MK. Isu sexy lainnya terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), menurut bro Adi seharusnya pemerintah dan parpol pendukung pemerintah tidak perlu ketakutan dan paranoid dengan banyaknya calon presiden yang akan menjadi pesaing presiden Jokowi di tahun 2019 nanti. Putusan MK No: 14/PUU-XI/2013 sudah jelas menegaskan bahwa pemilu dan pemilihan presiden akan dilaksanakan secara serentak di tahun 2019 nanti. Jadi dasar hukumnya sangat kabur dan tidak jelas untuk memaksakan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20%. “Kalau alasan pemilu 2014 dipakai acuan untuk pilpres 2019 nanti juga tidak masuk akal karena hasil pilpres 2014 sudah dipakai untuk memilih presiden dan pak Jokowi terpilih, apakah hasil pemilu 2014 lagi dipakai untuk memilih presiden di 2019 nanti?
Berarti satu hasil pemilu dipakai untuk pilpres dua kali, sangat ngawur dan tidak masuk akal karena peserta pemilu 2014 kemungkinan akan berbeda dengan adanya penambahan parpol baru di 2019 nanti,” imbuh pimpinan parpol sekaligus praktisi pariwisata ini. Adi yang asli desa Bugbug, Karangasem ini menambahkan di samping dasar hukumnya tidak jelas terkait dengan pasal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), juga pasal ini jelas merugikan parpol baru dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Menurutnya, setiap parpol yang ikut pemilu 2019 punya kesempatan untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden namun kalau sesuai dengan UU pemilu yang baru disahkan tentu parpol baru tidak berhak mengajukan capres dan cawapres karena yang dipakai acuan adalah hasil pemilu 2014 lalu, ini sangat inskonstitusional jadi seharusnya UU pemilu ini tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai aturan yang lebih tinggi karena dalam hukum ada asas lex superior derogat legi inferiori. (ist)