“Sekar Padma” Dinilai Tepat untuk Menjadi Maskot Bangli
(Baliekbis.com),Rangkaian peringatan Bulan Bahasa Bali 2019 di Kabupaten Bangli berjalan sukses dan diakhiri dengan kegiatan Rembug Sastra Bangli. Rembug bertajuk “Sastra, Bangli lan Merdeka Seratus Persen” ini digagas oleh Dewan Pimpinan Kabupaten Perhimpunan Pemuda Hindu (DPK Peradah) Indonesia Bangli bekerja sama dengan Pimpinan Cabang Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PC KMHDI) Bangli dan Komunitas Bangli Sastra Komala.
Menariknya, satu poin penting yang menjadi sorotan dalam rembug sastra ini, yakni persiapan Pemerintah Kabupaten Bangli, dalam hal ini Bupati dengan DPRD Bangli, yang tengah memikirkan maskot yang sampai saat ini tak kunjung selesai. Beredar kabar, maskot yang akan digunakan berupa bunga gumitir yang dirasa kurang tepat.
I Gde Agus Darma Putra, salah satu pembicara dalam rembug sastra ini memaparkan, Sekar Padma atau bunga tunjung rasanya menjadi pilihan tepat untuk maskot kabupaten yang berada di tengah-tengah pulau Bali ini. Dijelaskan, bahwa Padma sebagai sebuah tumbuhan purba yang memiliki nama lain Pangkaja. Nama Pangkaja ini dibagi menjadi dua yakni Pangka yang berarti lumpur dan Ja artinya lahir. Dengan bergitu Pangkaja bermakna sebagai lahir dari lumpur.
Darma Putra mengatakan bahwa meski Sekar Padma lahir dari lumpur namun ia tidak dikotori oleh lumpur. Karena itulah Sekar Padma ini menjadi sebuah simbol kesucian sehingga tidak mengherankan bahwa padma ini menjadi tempat duduk atau “asana” dari para dewa-dewi.
Dalam makalahnya yang berjudul “Geguritan Putra Sasana: Membaca Ulang Ba[ng]li dari Dalam,” Dharma Putra mengutip Kakawin Nirartha Prakrӗta yang berbunyi “dura n manduka ya pamuktya wangining tuñjung prakirneng bañu. ekhasta rahineng kulӗm tathapi tan wruh punya ning pangkaja. bheda mwang gatining madhubrata sakeng doh ndan wawang sparsaka. himpӗr mangkana mudha ning wang anukӗr jöng sang widagdheng naya”.
Kakawin tersebut memiliki arti “mustahillah katak dapat menikmati wangi bunga tunjung yang banyak tersebar di air. Berhari-hari dan bermalam-malam ia tinggal di tempat yang sama, tapi tiada mengetahui keindahan bunga teratai itu. Berbeda halnya dengan si lebah, dari jauh ia sudah mengetahuinya dengan segera. Seperti itulah kebodohanku yang hanya mengotori kaki para ahli yang bijaksana”
Dijelaskan lagi oleh Dharma Putra,, Petikan Nirartha Prakrӗta itu membicarakan perihal katak, kumbang, dan bunga Padma. Katak adalah representasi dari pengarang atau orang dalam yang mengaku bodoh. Sementara kumbang adalah representasi dari orang cerdas yang berasal dari luar. “Katak menjadi aktor yang dikalahkan, sedangkan kumbang menjadi pihak yang dimenangkan dalam kasus mengetahui keindahan bunga Padma,” kata dia.
“Seperti katak, seperti bunga padma. Katak dibawah bunga padma. Siang dan malam dia dibawah bunga itu tapi dia tidak tahu bagaimana sebenarnya bunga itu. Namun ada kumbang dari jauh datang, itu yang menghisap sari Padma. Itu yang harus kita hati-hati, jangan-jangan kita adalah katak yang berada dibawah pohon padma,” sambung Darma Putra.
Selain itu, Darma Putra juga mengutip Geguritan Putra Sasana K yang menyebutkan bahwa padma sebanyak tiga kali yakni Padma Hredaya, Padma Sari dan Padma Wangi. Padma Hredaya sendiri disebit sebagai stana dewi Saraswati, Padma Sari digunakan stana oleh Hyang Giri Pati bersama Hyamg Guru dan Padma Wangi oleh Sang Hyang Sastra.
Nilai-nilai kesucian yang terkandung dalam Sekar Padma ini dinilai lebih pantas untuk menjadi sebuah maskot guna menjaga peradaban kesucian sastra di Bangli.
Ketua DPK Peradah Indonesia Bangli, I Ketut Eriadi Ariana pun sepakat Sekar Padma dirumuskan menjadi maskot Kabupaten Bangli. Dari sudut pandang sekala, Sekar Padma adalah bunga yang berperan penting di kehidupan agama di Bali. Sekar Padma digunakan sebagai sarana dari lahir hingga meninggal.
Sementara itu, dari sudut pandang niskala Sekar Padma adalah gambaran cakra manusia di dalam tubuh itu sendiri. Konsep ini sejalan dengan kondisi Bali yang sentral secara sekala sebagai pusat ekologi Bali dan sentral secara niskala yang memiliki sejumlah situs suci yang dihormati manusia Bali.
Menurut Eri yang juga jurnalis dari salah satu media ini, konsep tersebut dapat menjadi jawaban atas kesulitan Pemda Bangli dalam menentukan maskot. “Saya berharap rumusan ini bisa sampai ke Bapak Bupati (I Made Gianyar) sebagai pemegang kebijakan di Bangli,” jelas Eri.
Selain maskot ada beberapa hal lain yang menjadi sorotan pemuda Batur ini, diantaranya soal sastra dan lingkungan di Bangli. Soal sastra Eriadi mengingat ucapan Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) saat seminar Balingkang Kintamani Festival di Museum Geopark Batur, 31 Januari lalu, yang mengatakan bahwa Bangli berpotensi dalam menggelar festival sastra.
“Kita punya potensi, dari jaman Bali Kuno Bangli sudah jadi tempat bersastra. Bangli, melalui Prasasti Sukawana A1 telah memisahkan masa praaksara dan masa aksara di Bangli. Bahkan, Sutan Takdir Alisjahbana, sastrawan Indonesia yang tersohor memilih bermukim di Bangli dan melanjutkan proses kreatifnya. Sayangnya, sekarang tempat itu tidak terpelihara dengan baik,” kata Eri.
Dengan membuat sebuah festival sastra seperti yang dilakukan oleh Ubud, Eri menyebut hal itu bisa menjadi sebuah “gula” untuk mendatangkan “semut” guna meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Bangli. Festival ini bisa di-create karena Bangli juga memiliki potensi yang luar biasa di bidang sastra. Ia percaya, SDM Bangli siap untuk itu. Sebagai contoh, salah satu sastrawan muda Bangli, yakni Dharma Putra bahkan telah mendapatkan penghargaan Rancage atas karyanya yang berjudul Bulan Sisi Kauh. (ari)