“Seminar Internasional Sastra Indonesia di Bali 2019”, Koster: Jadikan Budaya Basis Pengembangan Ekonomi Bali
(Baliekbis.com),Bali tak punya potensi alam yang besar seperti minyak dan tambang. Namun Bali memiliki keunggulan seni dan budaya yang tiada duanya.
“Potensi seni dan budaya Bali takkan pernah habis. Karena itu budaya akan kita jadikan basis dalam pengembangan ekonomi Bali,” ujar Gubernur Bali Wayan Koster, Jumat (11/10/2019) saat membuka Seminar Internasional Sastra di Bali 2019 di Art Centre Denpasar.
Koster menambahkan
seminar ini penting
sebagai fundamental untuk membangun Bali. “Meski pesertanya sedikit, tapi yang penting berkualitas,” ujarnya.
Seminar berlangsung dari tanggal 10-13 Oktober 2019
mengangkat tema “Sastra Lingkungan dan Kita”. Koster juga menambahkan pada Februari mendatang juga akan dicanangkan Bulan Bahasa Bali untuk mengangkat kearifan lokal Bali.
Di sisi lain, Koster mengatakan peradaban Bali bertumpu pada aksara, mantra dan sastra. Aksara dan mantra menjadi titik pusat dari ritus-ritus religius Bali. Sedangkan sastra merupakan mata air yang tidak pernah kering bagi penciptaan berbagai bentuk kesenian Bali.
Karya-karya kesusastraan utama, seperti Ramayana, Mahabharata, Sutasoma serta Tantri Kamandaka, selama berabad-abad telah menjadi inspirasi bagi para kawi (sastrawan) untuk menggubah kekawin, geguritan, kidung, tembang, maupun puisi, cerita pendek dan novel.
Karya-karya tersebut juga menjadi inspirasi bagi para seniman Bali untuk menciptakan tari, drama tari, wayang serta pertunjukan teater yang tidak lekang oleh zaman.
“Peran penting kesusastraan tidak hanya terletak pada kemampuannya untuk menjadi media untuk mengekspresikan keindahan. Tapi juga pada kemampuannya untuk menjadi media untuk merekam, menyimpan, serta menyebarluaskan nilai-nilai luhur, ajaran-ajaran moral, serta kearifan lokal yang menjadi tuntunan penting dalam perjalanan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik,” ujar Koster.
Salah seorang Kawi-Wiku (pendeta sastrawan) terbesar dalam sejarah Bali, Tabik Pekulun, Ida Pedanda Made Sidemen, dalam karyanya Geguritan Selampah Laku, secara indah dan simbolis mengungkapkan esensi dari “Nyastra”. Beliau mengatakan: “Bli mangkin makingkin meyasa lacur, tong ada karang sawah, karang awake tandurin”
“Saya sekarang hendak menjalankan hidup prihatin, karena tidak memiliki sawah untuk bercocok tanam, maka saya akan bertani di dalam diri”
Bertani di dalam diri sendiri adalah metafora yang indah tentang “Nyastra”. Tubuh dan jiwalah yang diperlakukan sebagai sawah yang harus dibajak dan dirawat. Padanya kemudian ditaburkan biji-biji aksara, mantra, serta sastra.
Pada sawah itu nantinya akan tumbuh subur nilai-nilai luhur, keteguhan moral dan etika, serta kearifan lokal. Hasil akhirnya adalah manusia utama yang cerah dan mampu mencerahkan masyarakatnya. Penyelenggaraan Seminar Internasional Sastra Indonesia tahun ini dilaksanakan sesuai dengan visi Pembangunan Daerah Bali 2018-2023 yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana, menuju Bali Era Baru.
Yang mengandung makna “Menjaga Kesucian dan Keharmonisan Alam Bali beserta Isinya, Untuk Mewujudkan Kehidupan Krama Bali Yang Sejahtera dan Bahagia, Sakala-Niskala Menuju Kehidupan Krama dan Gumi Bali sesuai dengan prinsip Trisakti Bung Karno: Berdaulat secara Politik, Berdikari Secara Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan Melalui Pembangunan Secara Terpola, Menyeluruh, Terencana, Terarah, dan Terintegrasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila 1 Juni 1945.”
Visi tersebut dituangkan sebagai konsep kebijakan dan pendekatan dalam pembangunan yang fokus pada tiga unsur utama yaitu: Alam, Manusia, dan Kebudayaan Bali. Tiga unsur tersebut berakar pada nilai kearifan lokal Sad Kerthi; enam sumber utama kesejahteraan yaitu: Atma Kerthi; Segara Kerthi; Danu Kerthi; Wana Kerthi; Jana Kerthi; dan Jagat Kerthi.
Sejalan dengan visi tersebut, Seminar Internasional Sastra Indonesia mengangkat tema “Sastra, Lingkungan, dan Kita” yang secara khusus memberi perhatian pada bagaimana kesusastraan dapat mempengaruhi cara pandang dan cara bertindak manusia dalam kaitannya dengan alam. Pada nilai kearifan lokal Sad Kerthi, terdapat empat elemen yang secara langsung berhubugan dengan alam, yaitu segara (laut), danu (danau), wana (hutan), serta jagat (dunia/alam).
Tema ini juga sangat terkait dengan Tri Hita Karana, sebuah ajaran kearifan lokal Bali yang sangat penting. Tri Hita Karana mengajarkan bahwa kebahagiaan universal akan tercapai saat manusia mampu membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, dengan alam, serta dengan tuhan. Sebuah hubungan harmonis pada tataran sosial, tataran ekologis, serta tataran spiritual.
Kegiatan Seminar Internasional Sastra Indonesia ini kami harapkan akan melahirkan pemikiran serta pemahaman yang bermanfaat tentang bagaimana sastra dan “nyastra” mampu mendorong lahirnya manusia-manusia utama yang pikiran, ucapan dan tindakan-nya selalu diarahkan untuk tercapainya Tri Hita Karana dan Sat Kerthi. (bas)