​Setiap Sekolah Perlu GPK, Atasi Siswa Kesulitan Membaca

KEMAMPUAN membaca merupakan salah satu fondasi utama dalam pendidikan. Sayangnya, banyak siswa yang sama sekali tidak bisa  membaca, dan banyak pula siswa tidak lancar membaca.

Beberapa waktu lalu Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, Bali, I Made Sedana menyebut sekitar 360 siswa SMP di Kabupaten Buleleng belum lancar membaca.

Ratusan siswa tersebut merupakan pelajar dari 70 sekolah swasta dan negeri. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng Putu Ariadi Pribadi  memberikan klarifikasi terhadap mengungkapkan sejumlah penyebab para siswa tidak bisa, atau tidak lancar membaca.

Di antaranya kurangnya motivasi, pembelajaran tidak tuntas, disleksia, disabilitas, dan kurangnya dukungan keluarga. Kemudian, ada juga faktor eksternal lainnya, yakni efek jangka panjang pembelajaran jarak jauh (PJJ), kesenjangan literasi dari jenjang sekolah dasar (SD).

Permasalahan tersebut tentu tidak saja ada di Kabupaten Buleleng. Kasus siswa tidak bisa membaca pasti ada di beberapa sekolah di kabupaten lain (kota) di Bali. Jika dicermati dalam implementasi Kurikulum Merdeka penggunaan fase dalam capaian pembelajaran adalah salah satu alasan mengapa peserta didik dapat terus naik kelas bersama teman-teman sebayanya.

Meskipun peserta dinilai belum sepenuhnya mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam capaian pembelajaran di fase sebelumnya, atau tujuan pembelajaran yang ditargetkan untuk dicapai pada kelas tersebut.

Lalu bagaimana teknisnya bagi siswa yang belum mencapai tujuan pembelajaran? Dalam proses penentuan peserta didik tidak naik kelas. Perlu dilakukan musyawarah dan pertimbangan yang matang sehingga opsi tidak naik kelas menjadi pilihan paling akhir.

Apabila seluruh pertimbangan dan perlakuan telah dilaksanakan, tetapi sekolah umumnya mengambil kebijakan untuk menaikkan peserta didiknya.

Banyaknya siswa yang tidak bisa membaca diakibatkan oleh pemberlakukan  Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif. Pemberlakukan kebijakan pendidikan inklusif pada semua jenjang pendidikan, setiap jenjang pendidikan tidak boleh menolak anak yang memiliki kebutuhan khusus untuk mengenyam pendidikan di sekolah reguler.

Pada pasal 2 dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 dijelaskan bahwa dijelaskan bahwa pendidikan inklusif bertujuan,

a)-memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

b)-mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, yang selanjutnya disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Siswa dengan berbagai karakter dan perbedaan kecerdasan seharusnya ditangani dengan baik. Gaya dan cara siswa dalam pembelajaran berbeda-beda. Perbedaan inilah yang harus diakomodasi oleh guru. Pemberlakukan  Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 seharusnya dibarengi dengan penyediaan Guru Pembimbing Khusus (GPK) di setiap sekolah.

Sebagai contoh anak yang tuna grahita yang bersekolah di sekolah reguler, tidak akan terlayani dalam proses pembelajaran jika sekolah tersebut tidak memiliki GPK. Jika hanya ditangani oleh guru kelas niscaya ABK tidak akan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya.

Oleh: Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum. (Akademisi Universitas Dwijendra) 

Leave a Reply

Berikan Komentar