Simon Nahak: Kalau Sudah Selesai Ya “Clear”, Garis Polisi Dibuka
(Baliekbis.com), Terkait ditutupnya tempat hiburan Akasaka belum lama ini, ahli Hukum Pidana, Dr. Simon Nahak,S.H.,M.H. ketika dimintai pendapatnya, Rabu (20/9) mengatakan kalau dari aspek hukum pidana mesti dilihat apakah proses penyidikan dan penyelidikan sudah berjalan atau belum, atau masih dalam proses. “Kalau sudah selesai ya clear dan garis polisi dibuka. Garis polisi itu dipasang untuk status perkara dan barang bukti,” jelas Simon Nahak sembari menjelaskan kewenangan Polda Bali memasang lagi garis polisi, dasar hukumnya apa?
Menurutnya, setelah Wily, lalu ada kasus serupa lagi di tempat yang sama, polisi Bali punya kewenangan memasang garis polisi lagi. “Namun ini aneh, karena bertentangan dengan logika hukum khususnya asas hukum tempus delicti (peristiwa sejak kapan terjadi). Setelah Wily kan tak ada kasus lagi, jadi sudah clear. Polda Bali memasang garis polisi lagi karena alasan kasus yang sama sebelumnya, ini yang bertentangan dengan tempus delicti, karena waktunya sudah lewat, kenapa tidak dipasang garis polisi sebelum kasus Wily. Dan dasar hukum apa Polda Bali pasang kembali garis polisi,” ujar Simon Nahak bernada heran. Tempus delicti merupakan waktu terjadinya suatu tindak pidana. Tempus delicti menjadi penting karena berhubungan dengan, apakah suatu perbuatan pada waktu itu telah dilarang dan diancam dengan pidana.
Sebelumnya Direktur IV Narkoba Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Eko Danianto mengatakan pihaknya telah membuka garis polisi atau police line Akasaka pada 8 Juli 2017 lalu, karena penyidikan terhadap Abdul Rahman alias Wily sudah selesai. “Kami sudah membuka garis polisi pada 8 Juli lalu karena penyidikan terhadap Wily sudah selesai. Kasusnya juga sudah selesai ditangani, dan sekarang sudah masuk tahap I dan II,” kata Brigjen Eko Danianto.
Meski sudah dibuka pada 8 Juli lalu, namun pada 9 Juli Polda Bali kembali memasang gari polisi dan memajang mobil rantis di depan pintu gerbang Akasaka. “Itu Polda Bali punya kewenangan. Mungkin, kasusnya sudah berulang-ulang, dengan penilaian itu maka Polda memasang kembali garis polisi. Silakan wawancara Dir Narkoba Polda Bali. Bilang, bahwa sudah wawancara dengan Pak Eko,” sarannya.
Sementara, Direktur Narkoba Polda Bali, Kombes Arief saat diwanwacara via telepon salah satu awak media malah kaget. “Bapak, saya belum jelas infonya. Saya bingung, nanti saya cek ke Mabes Polri dulu. Saya bingung info ini dari mana, saya cek dulu ke Mabes, baru saya sampaikan ke Kabid Humas,” katanya. Informasi dari Mabes katanya, Mabes Polri sudah buka garis polisi pada 8 Juli lalu, tapi pada 9 Juli dipasang garis polisi kembali oleh Polda Bali. Ditanya dasar hukumnya apa? “Ada perkara yang sama sebelumnya. Sebaiknya semua informasi satu pintu melalui Kabid Humas Polda Bali. Maaf ya, saya sholat dulu,” jelas Kombes Arief sambil mematikan handphonenya. Kabid Humas Polda Bali, Kombes Hengky Widjaja ditelepon salah satu awak media beberapa kali tidak mengangkat handphonenya. Baru dijawab setelah dikirim pesan melalui Whats app pada Minggu (17/9) lalu. “Maaf ini hari Minggu. Masalah Akasaka sudah dalam penyidikan Bareskrim Polri. Jadi saya kira tidak ada lagi yang perlu disampaikan oleh Polda Bali,” tulis Kombes Hengky. Ketika ditanya lagi, Mabes Polri sudah membuka Akasaka pada 8 Juli, tapi Polda Bali kembali memasangnya pada 9 Juli lalu. Apa dasar hukumnya? Sampai berita ini diturunkan Kabid Humas belum menjawabnya. Jika Polda Bali kembali memasang garis polisi, mestinya ada dasar hukum. Kalau dengan dalil ada kasus yang sama sebelumnya, kenapa tak dipasang garis polisi saat itu. Lalu ada enggak SPDPnya? (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan). Selain itu, pengamanan terhadap Akasaka setelah digrebek oleh tim Mabes Polri pada 6 Juni lalu karena 19 ribu ekstasi, dianggap berlebihan dan tak lazim seperti kasus kasus lain. Ini ada mobil rantis dan polisi yang selalu siaga dengan senjata. (BB)