SMAN 7 Denpasar dan SMAN 3 Denpasar Siratkan Warna di Taman Budaya
(Baliekbis.com), Lembayung senja menghiasi di kala petang itu, puluhan orang berbondong-bondong datang menjadi satu. Mereka menyaksikan pementasan karya anak muda.
Bertempat di kawasan kalangan Madya Mandala Taman Budaya Art Center Bali.
Sorotan lampu cahaya turut serta mengelilingi kalangan Madya Mandala, dengan titik fokus yang mengarah pada satu tempat stage. Penampil pertama tengah berdiri, dengan riuh tepukan tangan menyelimuti kehangatan malam itu. Empat gadis dengan balutan kain putih, dengan satu laki-laki di atas tangga yang menjulang tinggi memberikan suguhan fragmentasi puisi yang bertajuk “Badai Darah”. Yang walaupun hanya digarap dua hari, namun sukses membius mata penonton di kalangan Madya Mandala, Jumat (2/11).
“Jadi kalau dari SMAN 7 Denpasar dari perwakilan teater Antariksa, sekarang bawain fragmentasi puisi yang judulnya Badai Darah. Itu kita garap hanya dua hari, karena adanya miss komunikasi dengan pihak sekolah” ungkap Kevinlio Belindo Budiono (18), selaku asisten sutradara dari penampil pertama yang dibawakan oleh komunitas seni teater Antariksa SMAN 7 Denpasar ini.
Sarat akan makna, fragmentasi puisi yang dibawakan mengajak masyarakat untuk bisa menghargai jasa perjuangan, yang mulai tergerus arus globalisasi dan gilanya akan tahta. “Dengan ini, kita berharap agar masyrakat bisa mengingat perjuangan yang terdahulu dan bukannya semakin gila dengan tahta,” papar remaja kelahiran Malang, 14 Oktober 2000 ini.
Giliran SMAN 3 Denpasar yang unjuk diri menampilkan suatu pertunjukan rakyat genjek dan joged yang dikemas menarik. Bertajuk “Jagra” yang artinya waspada atau mawas diri ini. “Ingin lebih memberikan pesan di dalam joged itu sendiri, karena saat ini banyak yang salah kaprah akan adanya joged. Kalau di era sekarang pasti menilai joged itu pornografi, dan genjek itu mabuk, mabukan. Namun pada dasarnya, dengan tradisi yang asli itu tidak seperti itu,” cerca I Gede Yogi Pramana, selaku konseptor dari garapan SMAN 3 Denpasar dan juga pemilik dari Kesiman Art Company. Lebih lanjut ia, mengatakan bahwa pakem dari joged yang sebenarnya, “Terletak pada saat dimana pengibing ini, tidak akan bisa sampai menyentuh si penari joged. Justru disinilah letak tradisi yang sebanarnya kalo diamati dengan baik, dan genjek ini sebenarnya tak hanya kumpul dan menjalin kebersamaan antar truna-truna (sebutan pemuda di Bali- red) dengan tuak-nya saja, tapi tidak dilihat.
Bahwa saat minum tuak itu, alat yang dipake untuk minum yang terbuat dari bambu itu bisa dijadikan kreasi musik yang harmoninya sangat mengayuhkan. Dalam penuturan Yogi, ini pun juga disampaikan I Made Mahottama Warmasuta, remaja yang juga ikut ambil alih dalam pementasan tersebut menuturkan, “Generasi muda, sebagai penerus harusnya bisa memilah hal yang baik dan buruk. Kalau pemikiran orang terus-terusan begitu, siapa yang akan jaga tradisi dari para leluhur kita?,” tanya pemain suling ini dengan guratan senyum tipisnya.
Larutnya malam dengan dingin yang menusuk tubuh tak menyurutkan semangat anak-anak muda dalam melestarikan seni. Malam yang indah dengan balutan nuansa tradisi dan perjuangan yang sarat akan makna, apik membius para penonton yang hadir. Mahottama pun menambahkan harapannya, agar ke depan generasi bisa menimbang serta menjaga tradisi dan Nawanatya bisa terus berjalan sebagai wadah aspirasi kreatifitas anak muda. “Semoga apa yang ditampilkan malam ini, bisa menjadi tonggak tradisi bali yang mulai bergeser dari tradisi yang ada dan dengan adanya Nawanatya bisa mengapresiasi serta mewadahi seni kreatifitas muda. Untuk Nawanatya sukses dan lanjutkan!” tutupnya dengan lugas.
Sementara itu, sore harinya berlangsung pementasan Gelar Seni Akhir Pekan Bali Mandara Nawanatya III dari siswa-siswi sekolah dasar. Bertempat di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar sekolah dasar yang tampil berasal dari SD Tunas Daud dan SD Bali Hati. Sebagai penampil pertama, SD Tunas Daud menampilkan drama pendek bertajuk ‘Made Bagus’. “Drama ini lahir karena melihat kondisi yang memperihatinkan, dimana anak-anak lebih menyenangi gadget dibandingkan bermain bersama teman-temannya,” jelas Kadek Sarini Rahayu (39) selaku konseptor garapan.
Sarini yang juga menjadi guru Bahasa Bali ini pun mengaku persiapan yang dilakukan oleh SD Tunas Daud hanya 2 (dua) bulan. Dengan melibatkan anak-anak yang mayoritas kelas 5 (lima) sekolah dasar. Keunikan pun terasa saat drama ini dikolaborasikan dengan permainan angklung dari anak-anak SD Tunas Daud dengan sangat apik. Penampil kedua yang datang dari SD Bali Hati menampilkan sebuah garapan bertajuk Tari Kolaborasi Baliku. Menurut pembimbing garapan SD Bali Hati yakni Ni Putu Dewi Yuliadnyani (29) bahwa garapan ini terinspirasi dari adanya sebuah kebersamaan antara manusia, lingkungan, dengan Sang Penicipta yang dapat diisitlahkan sebagai Tri Hita Karana. “Kolaborasi kreasi tari dan musik yang mengangkat kebersamaan, angkat go green juga menuju Tri Hita Karana,” ujar Dewi bersemangat.
Antusiasme siswa-siswi SD Bali Hati sangatlah besar, hal tersebut tampak dari 82 siswa yang ikut serta dalam garapan ini. “Semua anak ingin ikut berpartisipasi tapi karena menghandle-nya agak sulit jadi 82 saja,” tambah Dewi. Ucapan terima kasih pun diucapkan Dewi kepada orang tua siswa dan Ketua Yayasan Bali Hati, A.A Gede Weda Susila yang mendukung penuh keterlibatan anak-anak SD Bali Hati dalam Bali Mandara Nawanatya III. “Dengan adanya Nawanatya III anak anak bisa lebih cinta budaya Bali termasuk Bahasa Bali. Besar harapan saya agar anak-anak tampil lagi meski nanti bukan Nawanatya lagi namanya,” pesan Dewi kepada siswa-siswinya. (gfb)