Sosialisasi Empat Konsensus Kebangsaan, Dr. Mangku Pastika, M.M.: Jangan Terpecah karena Beda Identitas
Identitas politik itu penting, tapi yang harus diwaspadai politik identitas karena bisa melahirkan sikap eksklusif dan melahirkan cara pandang dan berpikir yang sempit. Memang ada sisi positifnya karena dapat membuat strategi politik berjalan mudah, murah dan lebih efektif. Namun sisi negatifnya dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia mengingat bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama.
(Baliekbis.com), Anggota MPR RI Dr. Made Mangku Pastika, M.M. mengingatkan kalau negeri ini tak memiliki empat konsensus bangsa maka negara bisa berantakan. Dan Pemilu 2024 akan menentukan kemana arah negara ini, apa masih Pancasila seperti yang dulu.
“Kuncinya ada di Pemilu 2024 nanti. Kalau politik identitas mendominasi maka bisa mengkhawatirkan.
Jangan kita terpecah karena beda identitas. Identitas politik tak masalah, tapi politik identitas yang perlu diwaspadai dan jangan sampai terjadi,” ungkap Mangku Pastika yang juga sebagai Anggota DPD RI dapil Bali pada kegiatan Sosialisasi Empat Konsensus Kebangsaan “Peran Pemilih Milenial dalam Mengawal Empat Konsensus Bangsa Demi Tegaknya Pemilu Serentak 2024 yang Bebas Politik Identitas”, Selasa (21/2) di RAH (Rumah Ahli Hukum) Jalan Tukad Musi Renon Denpasar.
Sosialisasi yang dipandu Tim Ahli Nyoman Wiratmaja didampingi Ketut Ngastawa dan Nyoman Baskara menghadirkan narasumber Prof. Dr. Gde Yusha, S.H.,M.H. yang mengangkat tema “Tantangan Generasi Milenial dalam Menjawab Penegakan Hukum Sejalan Empat Konsensus Bangsa Menyongsong Pemilu Serentak 2024” dan Dr. Gede Suardana dengan tema “Partisipasi Generasi Muda, Pemilu dan Masa Depan NKRI”. Sosialisasi dihadiri puluhan peserta mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi.
Diingatkan dengan jumlah yang besar serta rasional dalam melakukan perubahan, milenial sangat menentukan nasib bangsa ini ke depan. “Untuk itu saya mendorong agar milenial tidak apatis dan bisa memilih pemimpin secara rasional dan cerdas. Jangan terjebak dengan dogma-dogma yang tak jelas,” pinta mantan Gubernur Bali dua periode ini.
Di awal paparannya, Mangku Pastika menceritakan sejarah bangsa ini mulai era Bung Karno, Pak Harto hingga Reformasi 98 dan sekarang ini. Menurutnya kalau mau bersatu, maka Pancasila harus tetap ada. Tapi kalau politik identitas itu terjadi, maka bangsa ini bisa terpecah belah.
Di sisi lain, Dr. Made Mangku Pastika memaparkan kelebihan Bali dengan agama, adat, budaya dan tradisi yang sudah menyatu. Karena itu menjadi Gubernur Bali bukan hanya urus pemerintahan, tapi juga adat, budaya dan agama.
Sementara Prof. Dr. Gde Yusha, S.H.,M.H. memaparkan tantangan generasi milenial dalam menyongsong Pemilu Serentak 2024 terutama dengan munculnya politik identitas yang mesti dihindari. “Kita tidak sepakat dengan politik identitas mengingat dalam pemilu kita memilih pemimpin bangsa, bukan pemimpin agama,” tegasnya.
Terkait tantangan generasi milenial ke depan menurut Prof. Yusha sebagai warga negara mestinya mau menjalankan kewajiban dan hak, taat pada hukum, ikut dalam kegiatan bela negara, mengisi diri dengan hal positif, menjunjung tinggi 4 konsensus nasional, HAM serta mengembangkan demokrasi.
Sementara soal penegakan hukum yang masih dirasakan sebagian warga kurang adil, menurutnya akibat lemahnya integritas penegakan hukum, tidak adanya pengawasan yang efektif (peran masyarakat/pemuda), Peraturan Perundang-undangan masih belum memihak rakyat,
mentalitas praktisi hukum yang lemah, struktur hukum yang overlapping kewenangan, dan independensi hakim.
Dr. Gede Suardana yang mengangkat partisipasi generasi muda mengatakan mengkritisi pemerintah tak masalah terutama kebijakannya yang tidak pro rakyat. Perbedaan itu boleh sepanjang untuk kemajuan bangsa dan negara. Kepentingan negara yang utama. Ia mendorong milenial berpolitik. “Jangan sampai jadi objek politik. Jadilah subjek politik,” tegas calon Anggota DPD RI ini.
Dalam sosialisasi berbagai pertanyaan muncul dari kalangan mahasiswa di antaranya soal penegakan hukum, keadilan, dll. Menurut Mangku Pastika
sehebat-hebatnya norma (hukum), kalau penegaknya (manusianya) tidak benar melaksanakan maka akan sia sia.
“Uang, kekuasaan, kemuliaan, gelar (merasa paling pintar) akan bikin mabuk. Ibarat sebotol anggur, yang bisa bikin mabuk kalau diminum semuanya. Jadi dengan kondisi ini anak muda harus bangkit, jangan skeptis, apatis dan jangan mau jadi agen-agen politik identitas. Jangan sampai nantinya memunculkan tirani minoritas,” pungkas Mangku Pastika. (bas)