Subak Perlu Diselamatkan
(Baliekbis.com), Nasib subak di Bali perlahan mulai terancam. Selain makin berkurangnya lahan-lahan pertanian, jumlah petaninya juga makin sedikit. Yang menyedihkan minat generasi muda menjadi petani juga rendah. “Menjadi petani tak ada kebanggaan serta tak ada pengakuan. Ini yang membuat nasib subak ke depan suram karena ditinggal petani dan menipisnya lahan akibat alih fungsi,” ujar Victoria Abou Khalil, mahasiswi program doctor Kyoto University, Jepang, Jumat (22/9) di Museum Subak Masceti Gianyar saat memberikan pemaparan terkait hasil sekolah lapangan yang dilakukan di Tabanan dan Gianyar.
Victoria yang asal Libanon ini bersama sejumlah rekannya di antaranya Yohei Kiyoyama (Jepang), Seongsu Park (Korea), dan Samar El Helou dari Libanon yang sama-sama menempuh program doctor di Kyoto University melakukan sekolah lapangan dalam rangka 3rd Bali Internship Field School for Subak (BIFSS) 2017 di Museum Subak Masceti Gianyar, Jumat(22/9). Kegiatan yang mengangkat tema “Subak Sustainable” Challenges and Strategis from Information to Emotion berlangsung selama lima hari dari tanggal 18-23 September 2019. Dalam kegiatan itu juga hadir dari kalangan pakar yakni Dr. Yohei Murakami dan Prof. Kyoko Kanki dari Kyoto University, Catrini Kubontubuh, Phd., candidat planner architect ITB, Prof. IW Windia dan Dr. Gede Sedana, keduanya pakar subak Unud.
Menurut Victoria, jumlah subak juga menurun tidak terlepas dari tingginya biaya dalam kegiatan di subak. Karena itu hadirnya museum subak diharapkan ke depan bisa menyelamatkan subak selain petaninya. “Museum subak selain menampilkan keberhasilan subak, juga tantangannya ke depan termasuk perjuangan petaninya,” harap Victoria. Hal senada juga dilontarkan rekannya Seongsu Park dan Samar El Helou yang melihat tingginya tantangan dalam menyelamatkan subak. Mereka berharap ke depan hadirnya museum subak bisa mempertahankan subak itu sendiri dan meningkatkan kesejahteraan petani. Karena itu museum subak juga harus menampilkan Bali secara luas, keindahan subak dan masalah yang ada sehingga bisa mengundang aksi-aksi nyata untuk menyelamatkan subak yang pada akhirnya akan membantu petani. Para mahasiswa tersebut mengatakan subak bukan hanya sebuah irigasi, tapi ada berbagai kegiatan di dalamnya termasuk yang melibatkan istri petani. “Subak adalah jantungnya Bali,” ujar Park.
Masalah subak juga menjadi perhatian pakar subak dari Unud Prof. Windia yang melihat banyak sekali kegiatan upacara di subak. “Ada 18 kali upacara dalam satu musim, mulai dari mengairi sawah hingga panen,” jelas Prof. Windia. Subak perlu didorong agar bisa ada value addednya, jadi tak melulu hanya urusan mabhakti dan gotong royong, ujarnya. Ke depan petani harus berekonomi dan berteknologi agar pendapatannya meningkat. (bas)