Tarik Ulur THR Mitra: Antara Keadilan Sosial dan Keberlanjutan Industri

(Baliekbis.com), Ekonomi gig adalah sistem ekonomi di mana individu bekerja secara fleksibel berdasarkan proyek, tugas, atau permintaan tertentu, tanpa adanya kontrak kerja tetap seperti dalam pekerjaan konvensional. Pekerja dalam ekonomi gig—adalah individu yang bekerja dalam sistem ekonomi gig, di mana mereka mendapatkan penghasilan berdasarkan tugas atau proyek tertentu tanpa adanya hubungan kerja tetap. Di Indonesia, kategori pekerja gig mencakup, (1) mitra pengemudi dan kurir seperti pengemudi ojek online serta kurir layanan pengantaran makanan dan barang; (2) pekerja lepas seperti desainer grafis, penulis, fotografer, penerjemah, editor, hingga programmer; (3) pekerja di platform jasa, termasuk teknisi, tukang, penyedia layanan kecantikan, dan kesehatan; (4) pekerja kreatif seperti influencer, YouTuber, dan content creator; (5) instruktur dan konsultan online, misalnya guru les privat, tutor, dan pelatih kebugaran; (6) serta pekerja di ekosistem marketplace seperti dropshipper, reseller, serta admin media sosial atau customer service lepas juga termasuk dalam kategori pekerja gig.

Selain memberikan fleksibilitas, ekonomi gig juga berkontribusi dalam pengembangan keterampilan pekerja. Bekerja di sektor gig memungkinkan individu untuk memperoleh pengalaman baru dan meningkatkan keterampilan mereka, baik di bidang digital maupun keterampilan lain yang relevan dengan pekerjaan mereka. Hal ini penting bagi pekerja yang ingin beralih ke pekerjaan formal atau mengembangkan karir di masa depan. Dalam beberapa kasus, keterampilan yang diperoleh di sektor gig bahkan dapat membuka peluang bagi mereka untuk memulai usaha sendiri.

Polemik mengenai status mitra dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada aplikator terus menjadi sorotan di berbagai media massa di Indonesia. Terhadap tuntutan THR ini, Pemerintah pun mulai terlibat dengan menciptakan beberapa inisiatif hingga berencana mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital yang tentunya juga menuai pro dan kontra. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif.

Namun, kebijakan ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri ini ke depan. Apalagi saat ini, perusahaan berbasis platform digital masih menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa sudah mencapai profitabilitas. Bisa saja perusahaan memilih untuk menaikkan harga tarif layanan yang pada akhirnya berdampak pada konsumen. Perusahaan juga bisa melakukan penghapusan program-program benefit untuk Mitra yang selama ini telah diberikan, atau bahkan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal untuk mengurangi biaya operasional.

Beberapa kota dan negara telah mengalami dampak negatif akibat reklasifikasi pekerja gig yang terlalu kaku. Contoh  Spanyol, setelah pemerintah menerapkan undang-undang ketenagakerjaan yang mewajibkan pengemudi menjadi karyawan tetap, beberapa platform ride-hailing utama seperti Uber dan Deliveroo mengurangi jumlah pengemudi hingga 50%. Akibatnya, banyak pekerja gig kehilangan pekerjaan dan fleksibilitas yang mereka andalkan untuk mencari penghasilan tambahan.

Agung Yudha, Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) – asosiasi yang menaungi pelaku industri mobilitas dan pengantaran berbasis platform digital di Indonesia, memahami semangat gotong royong dalam mendukung Mitra di Hari Raya serta menghargai perhatian pemerintah terhadap Mitra platform digital.

“Selama ini, pelaku industri on-demand di Indonesia juga telah menjalankan berbagai inisiatif, antara lain bantuan modal usaha, beasiswa pendidikan bagi anak Mitra, serta pemberian paket bahan pokok dan perawatan kendaraan dengan harga khusus, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga pendapatan Mitra. Diberlakukannya kebijakan baru terkait Bantuan Hari Raya (BHR) ini, bisa berpotensi membuat pelaku industri harus melakukan berbagai penyesuaian bisnis yang dapat berdampak pada pengurangan program kesejahteraan jangka panjang yang selama ini telah diberikan untuk Mitra,” ujarnya pada pernyataan pers (20/02/2025).

Lebih lanjut dikatakan, saat ini, sektor platform digital (aplikator) telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi, sebuah karakteristik utama yang menjadi daya tarik industri ini. Berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel ini bahkan telah berkontribusi pada 2% dari PDB Indonesia pada tahun 2022. “Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan, jangan sampai justru menghambat pertumbuhan atau bahkan membatasi manfaat yang telah diberikan kepada para Mitra,” tambahnya.

Ia juga mengutip Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6% bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online. “Itu artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini,” tegasnya.

Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H. (Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, sebelumnya Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia tahun 2002-2022) juga telah melakukan kajian opini berdasarkan dasar hukum ketenagakerjaan di Indonesia terkait polemik ini dalam perspektif bertajuk “Membedah Status Kemitraan dan Polemik THR bagi Mitra Pengemudi di Indonesia” (tertanggal 25 Februari 2025). Menurutnya, regulasi yang mengarah pada pengubahan status ini bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi dan keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia.

Menurut, Prof. Uwiyono (sapaannya), regulasi yang mengarah pada pengubahan status mitra ini bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi, keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia, serta peluang kerja dan kesejahteraan jutaan mitra pengemudi dan keluarga mereka. Selain itu, dampaknya bisa merembet ke berbagai sektor lain yang bergantung pada layanan ride-hailing, termasuk UMKM, pariwisata, hingga logistik, yang semuanya berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Ia juga menambahkan bahwa secara yuridis, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi merupakan hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja. Hal ini dipertegas oleh Pasal 15 Ayat (1),  Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pengemudi adalah hubungan kemitraan.

Kemudian, muncul pertanyaan, apakah mitra platform digital ini memenuhi unsur ketenagakerjaan sehingga berhak akan THR?

Regulasi yang menjadi dasar dalam menentukan apakah suatu hubungan antara perusahaan dan individu termasuk dalam kategori hubungan kerja formal atau bukan, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (perubahan dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020).

Secara spesifik, definisi hubungan kerja dan unsur-unsurnya dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (15) UU Ketenagakerjaan, yang menyebutkan: “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, perintah, dan upah.”

Kemudian, menilik dari dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia di atas, sebuah hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur utama, yaitu:

Pekerjaan: Mitra pengemudi memang melakukan pekerjaan berupa transportasi penumpang atau barang, tetapi ini dilakukan secara mandiri tanpa paksaan.

Perintah: Tidak ada perintah kerja dari perusahaan aplikasi, melainkan perintah kerja yang diberikan oleh konsumen dengan melakukan pemesanan melalui aplikasi. Mitra pengemudi memiliki kebebasan penuh dalam menentukan kapan dan bagaimana mereka bekerja.

Upah: Tidak ada upah tetap dari perusahaan aplikasi, melainkan mitra pengemudi membayarkan sejumlah uang kepada perusahaan aplikasi sebagai biaya sewa aplikasi dan mendapatkan bagi hasil dari tarif yang dibayarkan oleh konsumen berdasarkan perjanjian bagi hasil.

“Karena unsur-unsur ketenagakerjaan ini tidak terpenuhi (pekerjaan, perintah, dan upah), maka mitra pengemudi secara yuridis bukan merupakan pekerja yang berhak atas tunjangan dan perlindungan seperti Tunjangan Hari Raya yang dimiliki pekerja tetap sebagai hak sebagaimana diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan,” jelas Prof. Uwiyono (25/02/2025).

Tunjangan Hari Raya (THR) sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mensyaratkan bahwa THR diberikan kepada pekerja yang memiliki hubungan kerja formal dengan perusahaan. Jika kebijakan ini dipaksakan pada hubungan antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi, maka dapat memunculkan permasalahan hukum, karena mitra pengemudi tersebut bukanlah pekerja tetap, sehingga penetapan THR bagi mitra pengemudi ini bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Sejalan dengan pendapat Prof. Uwiyono, pendapat serupa juga diutarakan oleh ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin saat wawancara langsung 18/02/2025, yang mengatakan bahwa, “Salah satu faktor utama yang memungkinkan industri transportasi online berkembang begitu pesat adalah fleksibilitasnya. Jika sektor ini dipaksa menerapkan model bisnis konvensional, maka ada risiko besar pertumbuhan industri akan terhambat, bahkan berpotensi mengalami kemunduran. Oleh karena itu, solusi yang diambil harus bersifat win-win, tanpa menghambat keberlanjutan sektor ini. Sebab, jika industri ini terganggu, yang paling terkena dampaknya adalah para mitra aplikator itu sendiri serta masyarakat luas yang mengandalkan layanan ini untuk mobilitas sehari-hari.”

Dialog yang terbuka tentang solusi menjadi hal yang tak terelakkan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, terlebih pada momen penting seperti Hari Raya Lebaran. Menurut Prof Dr. Aloysius Uwiyono, dinamika pasar sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami agar menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan. Hal ini menjadi faktor utama dalam menarik minat pelaku usaha serta investor dalam jangka panjang.

“Dalam konteks ini, peran pemerintah idealnya berfokus pada pengawasan untuk memastikan keseimbangan dan kepastian hukum tanpa melakukan intervensi langsung dalam hubungan privat kemitraan,” ujarnya memberikan saran.

“Saat ini, mayoritas pengemudi menghargai fleksibilitas yang mereka miliki. Jika mereka diperlakukan seperti pekerja konvensional, ada kemungkinan mereka kehilangan fleksibilitas tersebut—yang justru menjadi daya tarik utama pekerjaan ini. Yang terpenting adalah mencari solusi bersama yang berkelanjutan, sehingga kesejahteraan pengemudi tetap terjamin tanpa mengorbankan pertumbuhan industri secara keseluruhan,” imbuh Wijayanto Samirin menyarankan.

Leave a Reply

Berikan Komentar