Temukan Regenerasi di Wayang Wong Talepud
(Baliekbis.com),
“Saya rasa semua tarian sakral perlu diadakan pembinaan seperti ini. Nanti kalau mereka kembali pentas di pura, tariannya sudah bagus sekali jadinya,” komentar pengamat seni I Made Bandem terhadap garapan Wayang Wong Sekaa Dewa Kocala Rakhta Talepud.
Kiprah Sekaa Dewa Kocala Rakhta Talepud memang tak perlu diragukan lagi. Meski bernaung dalam sekaa yang diurus oleh desa adat, namun totalitas sekaa ini memang patut menjadi perhatian. “Sekaa kami telah tampil di berbagai negara di Eropa dan Asia,” ujar Jro Mangku Pande Made Rahajeng. Sebagai konseptor garapan, tentunya Jro Made berpikir keras untuk mempersingkat durasi garapan wayang wong yang sejatinya berlangsung selama 3 (tiga) sampai 4 (empat) jam.
“Wayang Wong yang kami angkat memang mutlak berlandasakan ajaran sastra Hindu yakni Ramayana yang sebenarnya ada 18 parwa,” terang Jro Made. Sehingga ada beberapa parwa yang menjadi topic garapannya dan “Kumbakarna Antaka” menjadi judul garapan wayang wong ini.
Kala sang pewaktu telah menunjukkan pukul 19.30 Wita para pragina dan penabuh wayang wong pun telah siap sedia beraksi di Kalangan Madya Mandala Taman Budaya, Denpasar, Senin (30/7) malam. Tak hanya pragina yang sudah sepuh, pragina muda pun dilibatkan dalam garapan ini. “Ada yang bapaknya dulu jadi pragina wayang wong kini dilanjutkan oleh anaknya,” tutur Jro Made. Bagi Jro Made, regenerasi sangatlah diperlukan. Tak hanya wayang wong, kesenian di Bali lannya pun layak memiliki generasi penerus guna keajeggan budaya Bali.
Menurut penuturan I Made Bandem Wayang Wong Talepud ini merupakan wayang wong professional. “Jadi wayang wong umumnya adalah pementasan untuk wali yang sifatnya sakral, ini pun masih punya aspek sakral, namun bisa diubah sedemikian rupa guna dipertunjukkan pada penonton,” papar I Made Bandem lantang. Bandem pun menambahkan wayang wong ini sudah digarap untuk seni pementasan. “Wayang wong ini juga sudah sering keluar negeri sehingga mereka sudah biasa dengan penampilan panggung proscenium seperti pentas ini,” tambah Bandem. Sehingga dari segi koreografi sudah jelas dan bagus.
Wayang wong memanglah tarian sakral, sehingga mempertahankan aspek upacara adalah suatu keharusan. “Jadi sebelum pementasan disini, mereka sudah punya upacara, seperti upacara mebersih bersih ya mohon taksu untuk pentas di panggung,” terang Bandem.
Meskipun pementasannya untuk sekuler namun karena oleh topeng wali, tetap saja aturan berupa upacaranya tetap dilakukan. “Walaupun tidak ditunjukkan dihadapan penonton tapi dibelakang mereka melakukannya, itu yang mereka pertahankan,” tambah Bandem. Hal yang paling membuat Bandem kagum adalah adanya generasi muda yang turut tampil dalam kesenian wayang wong ini (pemeran hanuman). Bagi Bandem, itulah yang seharusnya dilakukan. Oleh sebab itulah, Bali Mandara Mahalango, Nawanatya, maupun Pesta Kesenian Bali seantiasa kita membutuhkan transisi berupa regenerasi seniman untuk mengembalikan roh wayang wong ke seni sakral lagi. “Karena Seni sakral nika kan sumber penciptaan tari balih-balihan,” tutup Bandem tersenyum. (gfb)