Terkait RUU Cipta Kerja, Ketua FSP Par-SPSI Bali: Penghapusan Upah Minimum Lahirkan Hukum Rimba dalam Ketenagakerjaan
(Baliekbis.com),Pekerja pariwisata yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pariwisata-SPSI memprotes RUU Omnibus Law khusus tentang Cipta Kerja yang dianggap akan memiskinkan dan menciptakan perbudakan modern dengan melegalkan tenaga kerja outsourcing.
“Tenaga outsourcing pada RUU Cipta Kerja ini akan menciptakan perbudakan modern. Demikian pula dengan dihapusnya upah minimum akan lahirkan hukum rimba dalam ketenagakerjaan,” ujar Ketua Federasi Serikat Pekerja Pariwisata-SPSI Provinsi Bali Putu Satyawira Marhaendra di sela-sela acara serap aspirasi Anggota DPD RI AAG Agung dengan Federasi Serikat Pekerja Pariwisata membahas RUU Omnibus Law di Gedung SPSI Prov. Bali Jln. Gurita I No.6 Densel, Rabu (4/3/2020).
Hal ini menurutnya sangat bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dengan tidak melibatkan
Tri partit antara Pemerintah, Pekerja dan Pengusaha. “Jika dari awal pembahasan ini melibatkan Tripartit maka tak ada main tambal sulam seperti ini,” ujarnya.
Satyawira berharap draft RUU Cipta Kerja ini dibahas dan dievaluasi kembali.
Hal senada disampaikan pengurus FSP Par Gusti Ayu Budiasih yang menilai adanya pengurangan pesangon bagi pekerja akan berdampak memiskinkan pekerja.
Menyikapi persoalan ini, Anggota Komite III DPD RI A.A. Gde Agung
yang membidangi masalah ketenagakerjaan mengatakan hasil serapan di lapangan ini akan disampaikan ke rapat Komite dan diparipurnakan dalam sidang yang dihadiri
136 anggota DPD seluruh Indonesia.
Sebelumnya Satyawira juga mengingatkan kepada pengusaha di industri pariwisata tidak sampai mengorbankan pekerja karena sepinya wisatawan akibat dampak virus Corona.
Dikatakan, pekerja di sektor pariwisata dipastikan akan menjadi korban pertama dari dampak wabah Virus Corona. Kebijakan merumahkan, bahkan pemutusan hubungan kerja sulit dihindari jika kondisi pariwisata terus memburuk.
Meski demikian, Satyawira mengingatkan agar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali tetap memberi perhatian dengan tidak membiarkan pengusaha pariwisata memutuskan sendiri hal-hal yang berkaitan dengan nasib pekerja pariwisata.
“Jangan sampai pengusaha mengambil kebijakan sendiri-sendiri dengan hanya mementingkan aspek bisnis semata. Pemerintah harus ikut memantau dan wajib melibatkan pekerja saat memutuskan nasib pekerja pariwisata,” tegas mantan manajer di sebuah hotel bintang lima ini. (ist)