Tiga Pengelola DTW Berbasis Masyarakat Berharap Pemerintah Segera Buka Pariwisata Bali
(Baliekbis.com), Tiga pengelola daya tarik wisata dengan pola community based tourism di Bali berharap agar pemerintah segera membuka pariwisata Bali kembali sehingga mereka bisa mengoperasikan kembali daya tarik wisata mereka yang sudah tutup selama dua bulan lebih dan tidak mendapat income sama sekali. Begitu Gubernur Bali mengeluarkan ketentuan dibuka, mereka siap untuk beroperasi kembali dengan menerapkan protokol normal baru.
Harapan agar pemerintah membuka izin operasi daya tarik wisata itu muncul dalam website seminar (webinar) 2 Pusat Unggulan Iptek Pusat Unggulan Pariwisata Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PUI-PUPAR LPPM) Unud, Sabtu (1/6) sore. Webinar bertajuk “Strategi CBT di Bali Menghadapi Pandemi COVID-19” dibuka Rektor Unud Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SP.S(K) dan menghadirkan tiga pengelola CBT sebagai narasumber: Komang Adi Wiryathana (Manajer DTW Monkey Forest Ubud), Drs. I Nyoman Mesir (Manajemen DTW Pantai Pandawa), dan I Nengah Sutirtayasa, SE.
Webinar dipandu oleh peneliti senior PUPAR Unud Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. dan diikuti oleh lebih dari 260-an peserta webinar yang berasal dari berbagai daerah seperti Papua, Sulawesi, Lombok, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Acara dilangsukan lewat aplikasi zoom dan sebagian mengikuti melalu channel Youtube Udayana TV.
Ketiga pengelola DTW menyatakan mengikuti anjuran pemerintah untuk menutup operasional sejak pertengahan Maret 2020. Kondisi ini mengakibatkan pegawai manajemen DTW dirumahkan dan usaha penunjang operasional DTW seperti restaurant, transportasi, maupun akomodasi tutup.
Nyoman Mesir menjelaskan, sebanyak 282 pegawai manajemen DTW Pantai Pandawa dan 200 pedagang di Pantai Pandawa kehilangan pendapatan. Sementara Adi Wiryathana menjelaskan karyawannya yang terbagi dalam berbagai devisi penghasilannya menurun drastis bahkan mereka yang tetap bekerja memelihara kawasan Mandala Suci Wenara Wana Padang Tegal dengan sistem ngayah alias gotong-royong. Sebanyak 82 karyawan manajemen DTW dan akomodasi yang ada di Jatiluwih, katan Nengah Sutirtayasa, mengalami nasib sama tidak memiliki pendapatan. “Syukurnya kami berada di daerah pertanian, perkebunan, dan juga peternakan sehingga krisis akibat pandemic COVID-19, tidak mengganggu ketahanan pangan masyarakat Jatiluwih,” tutur pria kelahiran 10 Juni 1987 itu.
Kerja sama yang sangat baik dengan desa adat menjadikan kualitas produk dan jasa di masing-masing CBT tetap terjaga. Partisipasi anggota desa adat dan anggota subak dalam menjaga kebersihan dan kualitas lingkungan pada DTW menjadikan masing-masing DTW tetap asri dan layak dikunjungi.
“Kami harus merogoh kocek Rp 120 juta sebulan untuk pakan kera sekitar 1.100 ekor, sampai saat ini kualitas di Monkey Forest tetap terawat karena ada penyemprotan disinfektan secara berkala untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan,” papar Adi Wiryathana. Dia menyampaikan bahwa kera perlu makan 7-8 kali sehari. Mesir dan Sutirtayasa pun menyatakan pihaknya juga mengikuti protokol kesehatan yang disampaikan pemerintah menghadapi COVID-19.
“Kapan pun pemerintah memutuskan DTW dibuka, DTW Pantai Pendawa siap menerima kunjungan dengan SOP new normal,” tandas Mesir. Menanggapi hal ini ahli virus Fakultas Kedokteran Hewan Unud Prof. Dr. IGN Mahardika meminta pengelola CBT untuk berhati-hati mengambil keputusan untuk beroperasi kembali. “Vaksin COVID-19 paling cepat tersedia Juli 2021, itupun produksi luar negeri, kalau produksi Indonesia kemungkinan lebih lama lagi,” ucapnya.
Pengelola CBT ini harus menyiapkan SOP pencegahan penularan COVID-19 secara rigid. CBT, lanjutnya, ada dua jenis CBT alam terbuka dan tertutup. CBT Pantai Pandawa dan Jatiluwih termasuk alam terbuka sehingga sinar matahari dan udara kemungkinan besar menekan pertumbuhan virus COVID-19.
Sementara Monkey Forest harus memberlakukan protocol kesehatan yang lebih ketat, mengingat kera menjadi mediator ujicoba vaksin sehingga kera rentan jadi vector penyebaran COVID-19. Peneliti PUPAR yang getol meneliti medical tourism dr. Ady Wirawan, MPH, Ph.D mengatakan saatnya pengelola DTW berbenah di masa sepi pengunjung dengan cara mengatur kembali pola pengelolaan alur pengunjung.
“Atur kembali alur pengunjung masuk dari mana, keluar kemana. Berapa orang yang paling banyak berada didalamnya,” kata Dosen FK Unud itu. Sependapat dengan dr. Adhy, Prof. Mahardika mengajurkan masing-masing DTW maksimal menerima kunjungan 25% dari yang biasanya diterima saat masih normal sebelum pandemic COVID19. Monkey Forest, kata Prof. Mahardika, sebelumnya dihubungi sampai 4.000 wisatawan sehari disarankan menerima 1.000 saja dengan mengatur kelompok-kelompok kecil wisatawan yang berkunjung.
“Kelompok wisatawan yang bukan dari satu keluarga sebaiknya dipisahkan dan atur jarak mereka masuk areal kunjungan,” kata Prof. Mahardika. Peserta webinar menyatakan topik webinar ini sangat menarik dan mencerahkan. Misalnya, Dosen Politeknik Pariwisata Bali Dr. I Wayan Mertha, dan Guru Besar Pariwisata Unud Prof. Dr. Ir. I Gde Pitana, M.Sc. menyatakan webinar itu sangat actual dan memberi gambaran pengelolaan CBT secara tepat pada new normal.
“Pengelolaan CBT tergantung pada partisipasi, ownership dan kebijakan pemerintah. Perlunya pengelola melakukan koordinasi dengan pemerintah untuk membuka CBT secara bertahap,” tegas Bendesa Adat Kedonganan itu.
Sementara Prof. Pitana meminta semua pihak tidak lagi mempertentangkan pariwisata dan kesehatan. Mengetahui antusiasme peserta webinar, Ketua PUPAR Unud Dr. Agung Suryawan Wiranatha mengaku sangat gembira kegiatan tersebut memenuhi harapan peserta. “Banyak ide dan pelajaran penting yang dapat diserap dan diformulasikan dalam draft SOP yang PUPAR akan sampaikan kepada pihak terkait sebagai kontribusi pengelolaan DTW secara aman di eran new normal,” jelasnya. (sar)