Tinggi Kekerasan terhadap Perempuan di Bali
(Baliekbis.com), Kekerasan yang menimpa kaum perempuan di Bali tahun 2017 ini terbilang luar biasa dan sangat tinggi jumlahnya. Namun sejauh ini pelaku kekerasan kebanyakan lolos dari jeratan hukum.
“Kebanyakan kasus kekerasan terhadap perempuan berakhir damai dan pelakunya (pria) tidak kena hukuman atas tindak kekerasan yang dilakukan,” ujar Sekretaris LBH APIK Bali Luh Putu Anggreni di sela-sela Launching Catatan Akhir Tahun LBH APIK Bali di Natour Hotel, Kamis (21/12). Dalam acara tesebut selain dihadiri sejumlah lawyer yang peduli dengan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) juga hadir Dewan Pengawas LBH (Lembaga Bantuan Hukum) APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Dr. Sita Van Bemmelen.
Menurut Luh Anggreni, APIK telah ada di Indonesia dengan kantor pusat di Jakarta. APIK Bali sendiri terbentuk sejak tahun 2009 dan memberikan bantuan hukum secara gratis kepada masyarakat, khususnya kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Dijelaskan, kasus KDRT di Bali sangat luar biasa yakni tahun 2017 mencapai 118 kasus, terbanyak KDRT disusul perceraian dan kasus seksual. Jumlah tersebut diprediksi jauh lebih besar, karena diduga banyak yang tidak mau melapor atau pun melapor ke polisi. “Yang 118 kasus itu yang melaporke LBH APIK saja,” jelasnya.
Ia melihat ada ketimpangan dan ketidakadilan terhadap kasus-kasus yang menimpa perempuan. Ini karena sistem hukum belum “care” terhadap perempuan. Ia melihat meski banyak kasus (KDRT) yang dilaporkan ke polisi, tetapi yang masuk ke pengadilan sangat sedikit. “Karena setelah di meja hijau mereka memilih damai. Atapun kalau kasusnya karena ketidakcocokan, mereka memutuskan bercerai,” ujarnya. Sementara kasus kekerasan itu sendiri lolos dari hukum. Dan ini kalau tak tertangani dengan baik ke depannya, tidak menutup kemungkinan kekerasan kembali akan terulang. Ini akan membuka peluang bagi pelaku untuk melakukan kekerasan lagi kepada wanita-wanita lainnya. Anggreni juga menyoroti hukuman bagi pelaku kekerasan sering sangat ringan bahkan ada yang hanya dihukum percobaan. “Jadi kita berharap ke depannya kasus-kasus KDRT ini dibahas lagi. Sebab ketika mereka berdamai atau memutuskan bercerai, kasus kekerasannya tak tersentuh. Di luar negeri kasus pidana dan perdatanya bisa dibahas berbarengan,” tegasnya. Untuk menekan kasus-kasus KDRT ini pihaknya menggandeng aparat penegak hukum dan pemegang kebijakan untuk memperjuangkan agar kekerasan terhadap perempuan tak sampai merugikan korban. Beban perempuan yang menjadi korban bukan hanya pisik, juga psikis dan penelantaran. Bahka ada yang dicerai sepihak dan dicerai secara adat saja tanpa memperoleh hak-haknya. Ditambahkan penyebab KDRT selain faktor ekonomi juga karena perselingkuhan. (bas)