Workshop “LPD sebagai Modal Budaya”, Rai Mantra: Perlu Badan Riset Perkuat LPD
(Baliekbis.com), Anggota DPD RI Perwakilan Bali I.B.Rai Dharmawijaya Mantra mengatakan ke depan perlu ada semacam badan riset, pengembangan dan pengabdian masyarakat untuk memperkuat LPD dalam menghadapi tantangan yang ada. Sebab tantangan saat ini bukan hanya masalah teknis juga hal-hal sosial.
“Jadi bisa dibuatkan semacam FGD yang melibatkan tokoh-tokoh, berbagai stakeholder dan para ahli yang paham dan berpengalaman untuk kemudian merumuskan suatu alternatif solusi atas apa yang menjadi tantangan LPD,” jelas Rai Mantra saat acara Workshop “LPD sebagai Modal Budaya”, Sabtu (15/3/2025) di Sekretariat DPD RI Renon Denpasar.
Workshop yang diikuti pengurus LPD se Bali ini juga dihadiri Ketua BKS LPD Drs. Nyoman Cendikiawan,MSi. dan pengurus lainnya.
Rai Mantra menjelaskan Indonesia menganut sistem ekonomi campuran yang berbasis Pancasila yang didasari oleh nilai-nilai Kekeluargaan, Kemandirian, dan Keadilan Sosial. Nilai-nilai ini adalah Nilai Kebudayaan yang kemudian menjiwai Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai lembaga sosio ekonomi kultural di Bali yang berfungsi membantu desa adat dalam menjalankan fungsi-fungsi kulturalnya.
Ditekankan, LPD dimiliki secara kolektif oleh masyarakat adat sehingga tidak terlepas dari kebudayaan. Dari sejak awal pendiriannya, LPD telah mampu menjalankan fungsinya dan melewati berbagai tantangan yang ada. Misalnya, pada saat Covid-19, LPD memberikan bantuan sosial kepada masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Namun, dalam perkembangannya yang nampak hanya kekurangannya saja. Hal ini tidak terlepas dari paham Neo – Liberal/Kapitalisme yang masuk ke berbagai sektor sehingga tata kelola LPD disamakan dengan mekanisme Perbankan/Bussines Profit. Permasalahan yang timbul di LPD juga disebabkan karena aturan yang tidak tepat.
“Untuk itu perlu ada manajemen/tata kelola LPD yang baik untuk meminimalisir terjadinya distorsi kebudayaan. Serta perlu ada pemahaman dari Pengurus LPD tentang hakikat LPD sebagai sebuah Modal Budaya yang terlembagakan,” ujar mantan Walikota Denpasar ini.
Sekaa Tuak
Dalam workshop berbagai masukan disampaikan peserta baik peluang maupun tantangan yang dihadapi LPD. Adanya kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga hingga 4% tanpa jaminan menjadi tantangan bagi LPD. “Masyarakat cenderung memilih KUR dibandingkan meminjam dana di LPD. Bagaimana kemudian LPD bisa kuat dengan kondisi seperti ini,” ujar peserta.
Menurut Pengurus LPD Bualu, dalam mengelola LPD, lembaga ini memegang teguh filosofi “Sekaa Tuak” dimana untuk dapat mengelola orang-orang mabuk, maka satu orang/ketuanya harus sadar/tidak mabuk sehingga manajemen organisasinya/keuangannya tetap sehat.
Melihat apa yang terjadi saat ini dimana yang nampak hanya kekurangannya saja serta menimbang sistem ekonomi campuran yang dianut Indonesia, bagaimana kemudian upaya yang dapat dilakukan untuk mengharmoniskan nilai kapitalisme dan kebudayaan di dalam tata kelola LPD tanpa menghilangkan identitas yang ada di dalamnya.
Sementara pengurus LPD Cau Tabanan mengatakan belum terciptanya pemahaman yang sama antara Bendesa Adat dan Ketua LPD berkaitan dengan konsep dan tujuan LPD. Ini kemudian menjadi tantangan LPD menuju perkembangan yang lebih baik sesuai dengan identitas/soulnya.
Pengurus LPD kebingungan berkaitan dengan landasan hukum/ regulasi berkaitan dengan LPD yakni antara Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2017 dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019. Mohon agar nomenklatur LPD dipertahankan seperti adanya dan ada kejelasan berkaitan dengan regulasi yang digunakan sehingga terjadi kesamaan persepsi dalam menjalankan LPD.
Dikemukakan, kelemahan LPD yakni pada tata kelola/ manajemen kelembagaannya. Fokus LPD seyogyanya tidak diarahkan pada pengembangan unit-unit usaha, melainkan bagaimana bersama-sama mengembangkan dan menguatkan LPD itu sendiri.
Prioritas utamanya adalah pemerataan kualitas sumber daya manusia dan tata kelolanya sehingga keberadaan LPD relevan dengan perkembangan zaman.
“Bagaimana membuat LPD ini sehat dan bisa tumbuh merata. Sekarang masih ada LPD yang tak mampu “membeli” teknologi karena mahal. Banyak yang membuat pelaporan manual, mereka masih tulis tangan,” ungkap peserta.
“LPD membutuhkan suatu standar khusus dalam bentuk sistem akuntansi yang sesuai dengan karakteristik dan core bussines LPD sebagai lembaga HYBRID dalam usaha mempertahankan eksistensi serta keunggulan komperatif dan kompetitifnya sebagai lembaga keuangan adat,” tegas Bu Novi. (ist)
Leave a Reply