YLPK Bali: Seharusnya Bank Bukan Mencatut Transaksi Recehan dengan Mengenakan Biaya Top Up
(Baliekbis.com), Demi efisiensi pelayanan dan bahkan keamanan dalam bertransaksi, upaya mewujudkan transaksi non cash adalah sebuah keniscayaan. Cashless society adalah sejalan dengan fenomena ekonomi digital. Namun, menjadi kontra produktif jika Bank Indonesia (BI) justru mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya top up pada setiap uang elektroniknya, e- money.
Secara filosofis apa yang dilakukan BI justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society tersebut. Menurut Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Bali I Putu Armaya,S.H., Senin (18/9) dengan cashless society sektor perbankan lebih diuntungkan daripada konsumen. Perbankan menerima uang dimuka, sementara transaksi/pembelian belum dilakukan konsumen. “Jadi sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up,” ujar Armaya. Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif. Pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang digunakan. “Selebihnya, no way dan ini harus ditolak! Dan tidak pantas pula jika sektor perbankan dalam menggali pendapatan lebih mengandalkan “uang recehan”,” tegas Aramaya.
Seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam meminjam, bukan mencatut transaksi recehan dengan mengenakan biaya top up! Apalagi banyak pengguna e-money dari kalangan menengah bawah. YLPK Bali, mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut untuk melindungi konsumen. (ist)