Yuddy Hendranat: Investasi Surat Berharga Ritel Lebih Aman dan Menguntungkan
(Baliekbis.com), Banyak jenis investasi yang bisa dimanfaatkan masyarakat di antaranya ORI, SUN maupun saham lainnya. “Namun yang paling aman dan menguntungkan adalah berinvestasi di Surat Berharga Ritel (SBR) karena memberikan bunga di atas BI Rate serta bisa dipakai sebagai jaminan,” ujar Kepala Subdirektorat Hubungan Investor Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kemenkeu I Gede Yuddy Hendranat di sela-sela Edukasi dan Sosialisasi SUN Ritel Seri SBR 004 di gedung GKN Renon, Kamis (9/8). Sosialisasi dibuka
Kepala Kanwil Dirjen Perbendaharaan Prov. Bali Dedi Soependi diikuti puluhan peserta terkait. Dikatakan Yuddy berinvestasi di SBR tak ada resikonya.
Yang paling tinggi resikonya adalah saham dan lebih tinggi lagi bermain di dolar karena fluktuatifnya tinggi. SBR tambahnya tidak diperdagangkan karena resikonya bisa naik turun. Namun bagi investor yang sudah dari awal berinvestasi akan mengikuti bunga awal. “Bunga awal mengacu pada BI Rate tapi lebih tinggi sehingga tetap menguntungkan investor,” jelasnya. Keuntungan lain dari SBR yakni mirip deposito dan bisa dicairkan. Setelah dua bulan, investor bisa melepas atau menjualnya. “Karena bersifat ritel maka SBR bisa dibeli secara individu” tambahnya. Meski demikian pembeliannya tetap dibatasi yakni maksimal Rp 3 miliar dan terendah Rp 1 juta.
“Jadi lebih aman berinvestasi di SBR karena selain rate bunganya lebih tinggi dari BI rate, bisa dijual, dijaminkan, bebas resiko dan pinalti,” tegasnya.
Untuk menjadi investor SBR, masyarakat bisa membeli melalui online atau agen yang ditunjuk seperti bank dan fintech. SBR akan ditawarkan mulai tanggal 20 Agustus hingga13 September melalui agen (bank pemerintah dan fintech). Diakui dana pihak ketiga yang ada di bank saat ini mencapai Rp 4 ribu triliun. Sedangkan dana di pasar obligasi negara baru Rp 2 ribu triliun. Ada juga obligasi dalam valuta asing yang mencapai Rp 800 triliun. “Kalau yang asing ini bisa ditarik tentu besar manfaatnya bagi ekonomi di dalam negeri,” ujar Deddy. Dijelaskan kebijakan pembiayaan melalui utang merupakan alternatif dalam mengakselerasi pembangunan. Kebijakan pemerintah berutang tidak hanya didasari kondisi dimana belanja pemerintah yang lebih besar dibanding penerimaan, namun juga untuk menjaga momentum pembangunan di beberapa sektor prioritas, yakni infrastruktur dan sumber daya manusia.
“Belanja prioritas pemerintah yang cukup besar harus dilakukan pada periode sekarang dan tidak dapat ditunda. Jika ditunda, dikhawatirkan akan membuat beban yang lebih besar di masa mendatang,” ucapnya. Agar utang memberikan nilai tambah, pemerintah mengatur komposisi belanja dalam APBN dengan prinsip bahwa setiap kali penambahan kapasitas APBN yang diperoleh dari utang, harus bisa menghasilkan hal yang produktif untuk peningkatan kapasitas ekonomi. “Dengan demikian akan membuat kemampuan kita dalam membayar utang lebih kuat lagi,” lanjutnya. (bas)